Oleh : Muhammad Nazri Janra (Departemen Biologi, Fakultas MIPA, UNAND)
Dalam kejadian bencana alam hidrometeorologi yang terjadi di Sumatera belakangan ini, mungkin kita berhutang besar pada citizen broadcasting dalam mengetahui kondisi sebenarnya yang terjadi di setiap lokasi yang terdampak. Citizen broadcast sebenarnya mirip dengan siaran pemberitaan yang biasa kita dengar dan lihat dari stasiun berita besar, tetapi skalanya jauh lebih kecil dan organik karena dilakukan oleh individu perorangan.
Di masa sekarang ini, hal tersebut sangat mungkin untuk dilakukan karena sarana dan prasarana untuk itu tersedia dengan sangat massif. Selain jaringan internet yang semakin luas kawasan yang dicakupnya, platform yang tersedia sangat beragam dan terutama yang berhubungan dengan aplikasi-aplikasi sosial media online. Gawai atau gadget yang mewadahi kegiatan citizen broadcast dengan sosial media tadi pun sudah banyak yang tersedia dalam harga yang sangat terjangkau, sehingga bisa dikatakan pada saat sekarang ini setiap orang sangat mungkin untuk merekam dan menyiarkan secara langsung setiap kejadian di sekitarnya.
Tidak heran jika banyak kejadian, seperti banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, yang bisa lebih cepat diketahui melalui channel pribadi di Facebook, TikTok, reel Instagram, X (dulu Twitter) dan lainnya. Ketimbang menunggu berita resmi dari stasiun berita, bagaimana kondisi yang terjadi di lapangan bahkan sampai ke kawasan paling pelosok pun semuanya ter-cover oleh para pengguna sosial media tersebut. Bahkan dengan kepadatan jumlah pengguna sosial media per satuan luas kawasan (misal satu kilometer persegi), dapat memberikan kedalaman pemahaman terhadap pemberitaan citizen broadcast tersebut karena direkam dari berbagai sudut sesuai dengan posisi keberadaan mereka masing-masing ketika itu. Mungkin karena masifnya pemberitaan bencana baru-baru ini oleh para pengguna sosial media yang sempat membuat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengeluarkan pernyataan bahwa kondisi bencana ‘lebih dahsyat’ di dunia maya dibandingkan situasi riilnya. Hal ini tidak mengurangi aktualitas dari kebanyakan citizen broadcast tersebut, bahkan banyak video amatir tentang bencana Sumatera yang kemudian muncul disitir oleh channel berita besar seperti Al Jazeera, CNN, BBC dan semacamnya.
Dari sudut kebencanaan, citizen broadcast melalui akun pribadi di berbagai sosial media dapat memberikan banyak sudut positifnya. Yang paling utama tentunya adalah sebagai media untuk memastikan keselamatan dari orang-orang tercinta yang mungkin saja berada di lokasi terdampak bencana. Dengan melihat geotag yang diberikan pada setiap postingan sosial media kita dapat dengan mudah mengetahui lokasi yang dimaksud di dalamnya sehingga bisa memperkirakan jika ada sanak keluarga yang terpengaruh karenanya. Bahkan kolom komen yang disediakan pada setiap postingan atau broadcasting dapat digunakan sebagai alat komunikasi antara mereka yang berkepentingan dengan kejadian bencana. Semisal untuk mengetahui kondisi terkini kawasan sampai kepada mencari anggota keluarga yang belum diketahui keberadaannya.
Lebih jauh lagi, postingan sosial media dapat menjadi titik awal pencarian korban bencana itu sendiri. Terlebih jika sudah terunggah ke cloud (sistem penyimpanan data nirfisik dari sebuah sosial media), maka banyak hal yang di kemudian hari bisa digunakan untuk kepentingan evakuasi. Misalnya posisi awal korban saat terjadi bencana, kemungkinan keberadaannya setelah tertimpa bencana dan seterusnya. Dalam kasus galodo yang terjadi di Jembatan Kembar di perbatasan Kota Padang Panjang sendiri, rekaman video amatir dari banyak orang yang berada di lokasi (termasuk para korban) membantu untuk menemukan belasan korban hilang sampai kepada mereka ulang arah datangnya material galodo itu sendiri.
Publik juga dapat memantau efektifitas pelaksanaan aktivitas tanggap darurat. Banyak pihak yang melakukan penggalangan dana untuk bantuan kemanusiaan memberikan laporan faktual dari lapangan dengan menggunakan broadcast di sosial media masing-masing sehingga para donatur mengetahui segera bagaimana dana yang mereka sumbangkan digunakan. Pun juga masyarakat terdampak, jika belum atau masih kekurangan mendapatkan bantuan, bisa menyuarakan hal ini pula melalui akun masing-masing.
Biasanya dengan menggunakan ‘kebisingan’ dari massa pengguna sosial media di dalam dan luar jejaringnya, maka postingan dari mereka yang benar-benar butuh seperti ini akan cepat terekspos dan syukur-syukur didengar oleh pemangku kebijakan. Meskipun untuk hal yang satu ini terdapat kemungkinan penggunaan yang ‘kurang baik’ dari mereka yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Semisal untuk kepentingan pribadi atau kelompok dengan menaikkan imej-nya. Juga tidak jarang kondisi sekarang dapat menjadi ‘lahan basah’ bagi para ‘penjahat’ cyber yang menggunakan foto-foto korban, kejadian nahas bencana yang terekam sampai kepada membuat komen yang tidak pantas pada konten kebencanaan. Semua itu bertujuan hanya untuk meningkatkan traffic (keterlibatan) orang di akunnya atau dalam postingannya tersebut.
Tapi sebenarnya yang paling baik dan tepat dalam memanfaatkan citizen broadcast kebencanaan ini adalah pemerintah selaku pemegang kekuasaan dan hajat hidup rakyatnya. Selain karena di tangan merekalah kekuatan untuk memberikan bantuan terbesar, juga banyak sumber daya yang mereka miliki untuk dapat memilih dan memilah aspek-aspek yang tidak baik dari postingan sosial media. Sehingga saat melakukan penanganan pasca bencana, mereka dapat memastikan setiap orang yang terdampak mendapatkan bantuan yang diperlukan sekaligus memastikan bahwa setiap bantuan yang terkumpul untuk kepentingan penanganan bencana telah digunakan dengan sebaik-baiknya. (*)











