Oleh : M Rafi Ariansyah S.AP, M.AP
(Dosen Administrasi Publik/Pengamat Lingkungan)
Banjir adalah aliran air yang sangat besar yang menyebabkan terjadinya overflow dan genangan pada suatu sungai atau saluran alami maupun buatan atau badan air lainnya. merupakan kejadian alam yang dihasilkan dari curah hujan yang tinggi dan dapat berakibat lebih buruk sebagai akibat dari perubahan tata guna lahan.Banjir besar yang menghantam sejumlah wilayah di Sumatera Barat bukan sekadar bencana alam biasa. Banyak pihak tergesa-gesa menyebutnya sebagai “cuaca ekstrem” atau “fenomena siklon tropis yang langka seakan-akan tragedi ini adalah sesuatu yang tak terhindarkan dan murni alamiah. Namun, melihat skala kerusakan, jumlah korban, dan pola pengulangan bencana yang hampir sama, bahkan cenderung terus meningkat setiap tahun di wilayah yang sama, menunjukkan bahwa bencana ini bukan sekadar hasil dari hujan deras, melainkan buah dari arah pembangunan negeri yang sudah lama mengabaikan prinsip dasar keberlanjutan ekologis. Bisa dikatakan bahwa Pembangunan di Sumatera Barat merupakan representatif dari kegagalan pembangunan ramah lingkungan.
Sumatera Barat memiliki Permukaan daerah terdiri dari dataran tinggi, dataran rendah, lembah, gunung, pantai, danau dan sungai. Sumatera barat memiliki daerah yang berhadapan langsung dengan samudera hindia. Menurut peraturan daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 5 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana menyatakan bahwa sumatera barat merupakan daerah rawan bencana alam salah satunya adalah bencana banjir. menyebabkan terjadinya banjir. Faktor-faktor tersebut adalah kondisi alam (letak geografis wilayah, kondisi toporafi, geometri sungai dan sedimentasi), peristiwa alam (curah hujan dan lamanya hujan, pasang, arus balik dari sungai utama, pembendungan aliran sungai akibat longsor, sedimentasi dan aliran lahar dingin), dan aktivitas manusia (pembudidayaan daerah dataran banjir), peruntukan tata ruang di dataran banjir yang tidak sesuai dengan fungsi lahan, belum adanya pola pengelolaan dan pengembangan dataran banjir, permukiman di bantaran sungai, sistem drainase yang tidak memadai, terbatasnya tindakan mitigasi banjir, kurangnya kesadaran masyarakat di sepanjang alur sungai, penggundulan hutan di daerah hulu, terbatasnya upaya pemeliharaan.
Peningkatan jumlah penduduk di tingkat provinsi juga diikuti dengan perkembangan kabupaten dan kota di Sumatera Barat seperti perluasan daerah pemukiman, areal bisnis seperti pertokoan, perkantoran, jalan, dan sarana prasarana pendukung lainnya. Namun, karena keterbatasan lahan di pusat kota menyebabkan perkembangan kota tersebut meluas ke arah daerah pinggiran sehingga luasan areal terbangun semakin bertambah. Areal perbukitan, bantaran sungai, daerah banjir, serta areal pertanian perkotaan yang seharusnya tetap hijau, mulai dirambah menjadi areal pemukiman dan perdagangan.
Kawasan-kawasan terbuka tersebut sebenarnya dapat digunakan sebagai kawasan resapan air yang memiliki fungsi untuk menjaga keseimbangan siklus hidrologi sebuah wilayah. Kondisi hidrologi yang seimbang harapannya agar tidak mengganggu dan menimbulkan dampak buruk (bencana) bagi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, perkembangan permukiman yang saat ini terjadi dapat mengancam keberadaan dan luasan area kawasan yang seharusnya difungsikan untuk menjadi resapan air. Data yang dilaporkan BNPB Pada hari Minggu, 30 November 2025 telah menunjukkan sebanyak 129 orang meninggal dunia dan sekitar 35 orang masih dinyatakan hilang.
Perubahan penggunaan lahan merupakan perubahan suatu kawasan yang awalnya berupa resapan menjadi kawasan terbangun. Kawasan terbangun ini terjadi, karena sebagian besar daerah resapan dibangun untuk dijadikan sebagai tempat perkembangan kota, industri, ekonomi, dan pemukiman. Peningkatan jumlah penduduk yang memerlukan pemukiman menjadi pemicu berkurangnya daerah resapan, yang mengakibatkan peningkatan aliran permukaan (banjir). Perubahan fungsi lahan di Sumatera Barat akan sangat berpengaruh pada siklus hidrologi terutama proses peresapan air ke dalam tanah. Pendirian suatu bangunan menyebabkan lahan tersebut menjadi lebih kedap air dibanding keadaan semula. Jumlah air yang meresap ke dalam tanah akan menurun dengan drastis atau bahkan tidak ada sama sekali sehingga aliran air permukaan akan meningkat. Kepadatan bangunan yang makin meningkat mengakibatkan kualitas keseimbangan lingkungan semakin menurun. Berkurangnya kawasan resapan air dapat mengurangi kemampuan dalam fungsinya sebagai kawasan penyangga lingkungan. Berkurangnya kawasan resapan air akan berakibat run-off air yang semakin besar. Hal tersebut akan berdampak pada timbulnya bencana banjir di kawasan setempat atau bahkan di kawasan lain diluar kawasan penyangga. Seperti di Kabupaten Sijunjung dan Kabupaten Dharmasraya, kedua daerah ini mengalami kerusakan lahan, kehilangan hutan dan sawah hingga tercemarnya Daerah Aliran Sungai (DAS).
Adapun faktor lain penyebab terjadi bencana Banjir 2 tahun terakhir di Provinsi Sumatera Barat yaitu alih fungsi lahan, perubahan hutan menjadi perkebunan, permukiman, atau area industri mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air hujan, yang menyebabkan limpasan permukaan (run-off) yang cepat dan volume air sungai meningkat drastis. Menurut analisis Walhi Sumbar, Sumatera Barat kehilangan 320 ribu hektare hutan primer lembap dalam kurun 2001-2024. Secara keseluruhan, sekitar 740 ribu hektare tutupan pohon hilang dalam dua dekade terakhir. Tahun 2024 saja, deforestasi mencapai 32 ribu hektare, menjadikan Sumbar salah satu provinsi dengan tingkat kehilangan hutan tertinggi di Sumatra. Penyusutan lahan sawah, sekitar 875 hektare lahan sawah di Kota Padang menyusut akibat alih fungsi. Kondisi serupa terjadi di Sumatera Barat, antara lain DAS Anai, Antokan, Banda Gadang, Masang Kanan, Masang Kiri, dan Ulakan Tapis. Penggunaan lahan di enam DAS tersebut didominasi APL dengan proporsi 45 sampai 98 persen. Tindakan ini menyebabkn deforestasi dimana terdapat hilangnya tutupan pohon, terutama di kawasan hulu sungai, menghilangkan fungsi alami hutan sebagai penyimpan air (reservoir alami) dan penahan erosi.
Banyaknya lahan yang beralih fungsi menjadi daerah pemukiman akibat pertambahan penduduk, menyebabkan berkurangnya daerah resapan, yang akan menimbulkan banjir. Jika intensitas hujan tinggi, laju sedimentasi meningkat, sehingga terjadi pendangkalan sungai, yang menyebabkan luapan air (banjir). Aliran yang dilewati DAS Arau merupakan kawasan padat penduduk, di mana banyak terdapat kegiatan industri pada daerah sepanjang aliran sungai. Hal ini berakibat terjadinya pencemaran air akibat limbah industri yang dibuang ke sungai. Perubahan tata guna lahan mengakibatkan peningkatan koefisien resapan, faktor ini menghasilkan tingginya limpasan permukaan yang menyebabkan terjadinya banjir. Belum adanya aturan yang menetapkan besarnya luas dan jenis penggunaan lahan yang dapat menyerap air agar banjir dapat dikurangi, menyebabkan masyarakat serta developer senantiasa dapat menggunakan lahan hijau menjadi lahan pemukiman. Untuk mengatasi penggunaan lahan, perlu dilakukan analisa luasan daerah hutan, luasan daerah perkebunan dan luasan daerah sawah yang dapat menyerap air, sehingga banjir dapat dikurangi.
Selanjutnya, BPBD Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota terkait solusi yang berada di Provinsi Sumatera Barat kedepannya harus mengedepankan pengelolaan tata ruang dan lahan, menerapkan penataan tata ruang yang ketat dengan melakukan pemetaan geologi pada daerah rawan bencana dan memperketat izin pembangunan di area resapan air. Menghindari pembangunan pemukiman di bantaran sungai atau daerah resapan air sangat penting, rehabilitasi lingkungan hidup (Penghijauan), melakukan penanaman kembali (reforestasi) di daerah hulu sungai dan meningkatkan ruang terbuka hijau (RTH) untuk meningkatkan daya serap air tanah. Pengelolaan sumber daya air terpadu, melakukan pengelolaan sumber daya air secara terpadu, termasuk pembuatan sumur resapan air, untuk mengendalikan volume air permukaan.
Selanjutnya, pembangunan infrastruktur mitigasi struktural, membangun atau memperkuat infrastruktur fisik seperti bendungan, tanggul, sistem drainase yang lebih baik, dan melakukan perkuatan lereng di daerah rawan longsor, misalnya dengan grooving beton. Selain itu, juga perlu adanya peningkatan sistem peringatan dini, mengembangkan dan mengimplementasikan sistem peringatan dini bencana yang efektif dan terintegrasi, yang didukung oleh data BMKG dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat, termasuk melalui konversi peta rawan bencana ke platform digital seperti Google Maps.
Pemberian edukasi dan kesiapsiagaan kepada masyarakat juga perlu dilakukan, meningkatkan kesadaran dan kapasitas masyarakat melalui penyuluhan dan simulasi bencana secara berkala. Hal ini memastikan warga mengetahui rute evakuasi dan tindakan yang harus dilakukan saat bencana terjadi. Tidak lupa juga perlu dilaksanakan investigasi mendalam penyebab bencana, pemerintah Sumatera Barat didesak untuk menginvestigasi penyebab mendasar banjir dan longsor yang berulang, termasuk potensi perubahan kontur alam akibat eksploitasi sumber daya, untuk merumuskan solusi yang lebih tepat sasaran. (*)










