Namun persoalan paling menarik dan paling pelik justru muncul bukan dari geologi atau geomorfologi, melainkan dari dunia perizinan. Di banyak wilayah Indonesia, termasuk wilayah geologi seperti ini, izin pertambangan seringkali tidak berhubungan dengan aktivitas produksi. Fenomena “izin tidur”, ialah ada izin yang diberikan tetapi tidak pernah diwujudkan dalam proyek tambang, justru menjadi gejala nasional. Pada tahun 2022, pemerintah pusat mencabut lebih dari dua ribu izin minerba karena tidak berproduksi. Jumlah tersebut hanyalah sebagian dari puluhan ribu izin yang pernah terbit dalam dua dekade terakhir. Banyak di antaranya tidak dimaksudkan untuk menambang, tetapi digunakan sebagai instrumen keuangan: jaminan pinjaman, alat spekulasi, atau surat berharga yang nilainya hidup hanya di atas kertas.
Dalam konteks seperti inilah pertanyaan tentang batubara di wilayah ini menjadi semakin rumit. Ketika izin tambang dapat diperlakukan sebagai komoditas finansial tanpa aktivitas riil, maka keberadaan izin tidak lagi menggambarkan potensi ekonomi sesungguhnya.
Izin dapat menutup akses lahan, menghambat rencana pemanfaatan ruang, menciptakan konflik, atau bahkan menjadi beban keuangan ketika ternyata tidak pernah berproduksi. Dengan kata lain, izin tambang yang tidak beroperasi dapat menciptakan kerugian meski tidak menghasilkan satu gumpal batubara pun. Konsesi legal formalnya telah diberikan alasan penguasaan lahan, meskipun tidak ada operasioal penambangan.
Dari keseimbangan ekologis dan keselamatan masyarakat, penambangan batubara dalam kondisi geologi seperti ini jelas bukan pilihan rasional. Risiko geomorfologi terlalu besar, potensi batubara terlalu kecil, dan pola perizinan nasional menunjukkan bahwa banyak izin cenderung mandek tanpa hasil.

Jika izin hanya digunakan sebagai alat finansial, maka dampaknya bukan hanya pada kerusakan alam atau hilangnya peluang ekonomi, tetapi juga pada terkuncinya lahan strategis yang seharusnya dapat dimanfaatkan secara produktif dan berkelanjutan.
Wilayah ini sesungguhnya tidak kekurangan potensi, tetapi potensi itu bukan batubara. Masa depan ekonominya lebih mungkin tumbuh dari kekuatan yang telah dimilikinya: hutan yang bisa dikelola sebagai penyangga ekosistem, wilayah pesisir yang kaya hayati, perikanan yang dapat dikembangkan secara modern, dan jasa lingkungan yang dapat menjadi penopang ekonomi baru.
Di tengah meningkatnya ancaman bencana dan perubahan iklim, arah pembangunan yang paling logis bukanlah mengejar komoditas yang tidak pasti, melainkan memulihkan hulu, memperkuat tata guna lahan, dan membangun ekonomi yang selaras dengan daya dukung alam.










