“Kalau tata ruang berbasis mitigasi tidak diterapkan, APBD kita hanya akan habis untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Tidak ada lagi pembangunan,” ujarnya.
Dari sisi perencanaan kebencanaan, Prof. Dr. Bambang Istijono, M.Eng mengingatkan kegagalan masa lalu Pascagempa 2009. Kala itu, perguruan tinggi telah menyusun dokumen Jitu Pasna dan Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana atau R3P yang komprehensif.
Namun sayangnya, dokumen itu akhirnya tidak pernah ditetapkan sebagai Perda, sehingga rekomendasi ilmiah menguap tanpa eksekusi. “Akibatnya, DPRD tidak ikut mengawal pendanaan, dan rencana besar penanganan bencana kembali menjadi tidak jelas,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, pengelolaan sungai-sungai di Kota Padang masih dirancang berdasarkan data lama. Jauh sebelum ledakan permukiman baru di Kota Padang akhirnya berkembang ke arah lereng Bukit Barisan di kawasan Lubuk Minturun, Limau Manis dan sebagainya.
Dengan curah hujan ekstrem yang terus meningkat, ucapnya infrastruktur yang tidak mengikuti kondisi alam mutakhir pada akhirnya menunggu waktu untuk kembali gagal. “Kalau kita tidak mempedulikan Jitu Pasna dan R3P, maka penanganan bencana akan selalu reaktif, tidak pernah preventif,” katanya.
Sorotan paling keras terhadap kerusakan ekologis muncul dari paparan Ketua Forum DAS Sumbar, Isril Berd. Ia menyampaikan fakta telak bahwa Sumbar memiliki lebih dari 1.000 DAS, dan 134 di antaranya kini berada dalam kondisi kritis. Hulu-hulu besar yang selama ini menjadi penyangga air bersih, seperti Batang Anai, Kampar, Sinamar, Arau, Kuranji hingga Kuantan, mengalami kerusakan yang disebutnya sangat serius.














