Lahan-lahan terbuka di hulu, sedimentasi yang menebal, pendangkalan sungai, hingga permukiman yang melanggar badan sungai telah mengubah aliran air menjadi ancaman. “Normalisasi harus dilakukan. Sedimentasi harus diangkat, talud dibenahi, drainase dibersihkan. Tanpa itu, limpasan air akan selalu langsung menghantam pemukiman,” ujarnya.
Prof Isril Berd juga mengungkapkan bahwa sejak 2015, Forum DAS telah mengusulkan pembangunan setidaknya 24 embung di DAS-DAS kritis, namun seluruhnya terhambat masalah lahan. Ia menyebut pemerintah daerah pasif karena hingga kini belum satupun daerah yang membentuk Forum DAS lokal. “Kalau daya dukung lingkungan tidak dipulihkan, Sumbar mustahil keluar dari lingkaran bencana,” tegasnya.
Ahli lingkungan Indang Dewata memberikan kritik paling pedas. Ia menyebut tata ruang Sumbar selama ini dibuat untuk dilanggar, bahkan oleh para penyusunnya sendiri. Banyak perumahan dibangun persis di sempadan sungai dan wilayah yang secara regulatif harus steril. “Ini pelanggaran yang sistematis. Yang melanggar sering kali bukan masyarakat, tetapi pembuat aturan tata ruang itu sendiri,” ujarnya tajam.
Menurutnya, tata ruang berbasis mitigasi harus diturunkan hingga ke tingkat adat. Nagari, bersama Niniak Mamak, harus diberikan kewenangan menentukan batas kawasan lindungnya sendiri.
Dari ranah teknologi mitigasi, Rusnardi Rahmat Putra dari UNP menegaskan bahwa Sumbar harus bertransformasi. Ia mencontohkan teknologi mikro tremor yang dapat memetakan titik lemah bangunan dan sistem peringatan dini di Cina yang mampu memberikan peringatan empat jam sebelum bencana. Teknologi semacam ini dapat mengurangi korban hingga 94 persen. “Kita tidak boleh hanya mengandalkan penghijauan. Teknologi harus jadi bagian inti mitigasi,” ujarnya.
Sementara itu, dari Unand, Prof Febrin menyoroti pentingnya rapid assessment agar masyarakat terdampak dapat segera kembali ke rumah tanpa harus berlama-lama di pengungsian. Ia menilai mahasiswa teknik sipil bisa dilibatkan untuk mempercepat proses penilaian struktur bangunan rumah masyarakat terdampak Bencana agar masyarakat tidak tinggal terlalu lama. Di pengungsian.














