Sedangkan detail assessment terhadap infrastruktur publik yang rusak seperti jalan dan jembatan, perlu dilakukan untuk perencanaan jangka panjang berbasis data, bukan perkiraan kasar.
Ahli Kehutanan, Prof Firman Hidayat juga menyampaikan peringatan keras Galodo adalah bencana berulang dan selama tata ruang tidak diperbaiki, Sumbar hanya menunggu giliran untuk dihantam bencana berikutnya. Ia menambahkan bahwa informasi BMKG harus sampai cepat ke nagari agar masyarakat bisa mengambil tindakan sebelum bencana datang. “Kuncinya tata ruang. Tanpa itu, apa pun yang kita lakukan hanya menunda bencana,” katanya.
Kekhawatiran mendalam juga datang dari ahli tanah, Prof Aprisal, yang mengungkapkan bahwa sebagian besar hulu DAS di Sumbar didominasi jenis tanah septisol yang sangat rawan longsor bila tutupan vegetasi hilang.
Berdasarkan penyelidikan Ditreskrimsus dan Mabes Polri, tutupan hutan di hulu telah berkurang signifikan, sehingga lereng curam menjadi bom waktu. Ia mengusulkan metode penghijauan cepat seperti seed ball untuk mengembalikan vegetasi secara masif.
Selain kerusakan ekologis, forum juga menyoroti carut marut informasi kebencanaan. Tokoh pers Sumatera Barat, Hasril Chaniago, mengkritik data bencana yang “berbeda-beda versi” dan mekanisme komunikasi publik yang tidak sinkron.
Akhirnya, jurnalis dan awak media kesulitan mendapatkan data real time, sementara posko hanya merilis dua kali sehari. Ia menilai hal ini berpengaruh langsung pada persepsi pemerintah pusat terhadap keseriusan bencana di Sumbar.














