Di sektor transportasi, Pakar Sistem Mobilitas, Yossafra, memaparkan dampak kerusakan infrastruktur yang disebutnya kolaps total. Data yang disampaikan menunjukkan 109 titik jalan rusak berat, termasuk 20 titik amblas dan sembilan jembatan yang tidak berfungsi. Malalak dan Kelok 44 lumpuh, distribusi BBM dan logistik tersendat, dan aktivitas lintas kabupaten terganggu parah.
Dengan kemacetan yang bisa menahan kendaraan hingga 10 jam, kerugian ekonomi Sumbar diprediksi bisa mencapai Rp25 miliar per hari. Ia merekomendasikan sistem buka-tutup Sitinjau Lauik secara terjadwal untuk mencegah kemacetan lalu lintas di satu-satunya jalan penghubung Ibu Kota Sumbar dengan Kabupaten Kota lain yang tersisa itu
“Ini jauh lebih parah dari bencana pada bulan November 2024 lalu. Arus lalu lintas di kawasan Sitinjau Lauik yang kini jadi satu-satunya akses, perlu pengaturan pada masa tanggap darurat ini,” ungkapnya.
Disamping itu, Hasril Chaniago juga mendorong pembentukan lembaga pengarah seperti Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh pasca Tsunami untuk menata ulang koordinasi, pendanaan, hingga komunikasi publik.
Sementara Ketua Dewan Kehormatan PWI Sumbar Zul Effendi, menyampaikan bahwa dalam pemberitaan nasional, saat ini Sumbar tertinggal dibanding Sumut dan Aceh, padahal skala kerusakan bencananya tidak kalah besar. “Persepsi pusat ditentukan oleh informasi. Ketika Sumbar lambat, maka urgensi bantuan juga lambat,” ucapnya. Pemimpin Umum Harian Haluan ini mengingatkan, untuk mempercepat pemulihan Sumbar pasca bencana, diperlukan pusat komunikasi bencana terpadu untuk memastikan semua data valid, cepat, serta anti Disinformasi. “Sebab bagaimanapun, dalam kondisi seperti ini kita sedang perang informasi. Porsi pemberitaan bencana di Sumbar hanya 20 persen. Jauh tertinggal dari Aceh dan Sumut. Saya kira ini perlu jadi perhatian khusus bagi Pemprov Sumbar,” pungkasnya. (*)














