LIMAPULUHKOTA, HALUAN— Ancaman bencana ekologis di Sumatera Barat kembali menampakkan wajah paling mengkhawatirkannya. Di Kecamatan Gunung Omeh, Nagari Aia Angek, Kabupaten Limapuluh Kota,puluhan warga terpaksa bertahan di tenda-tenda darurat setelah rumah mereka retak, miring, bahkan roboh akibat pergerakan tanah yang semakin intens sejak awal Desember.
Di nagari yang terletak pada gugusan perbukitan Bukit Barisan itu, tanah terus bergeser perlahan namun pasti. Retakan melebar di permukaan jalan, fondasi rumah amblas, dan beberapa bangunan tidak lagi layak dihuni. Warga menyebut fenomena ini bukan kejadian baru—hanya saja kini semakin parah.
“Sudah beberapa tahun tanah di sini sering bergerak. Tapi sekarang jauh lebih cepat, retaknya tambah besar setiap hujan turun,” ujar Nisa salah seorang warga Terdampak.
Wanita ini mengaku setiap malam tidur dengan rasa waswas di dalam tenda pengungsian. “Hujan deras bikin tanah makin turun. Kami takut, tapi mau bagaimana, belum ada tempat lain,” ucapnya.
Fenomena pergerakan tanah yang semakin agresif ini kian dipicu oleh curah hujan ekstrem yang melanda kawasan tersebut dalam beberapa pekan terakhir.
Sebagian Nagari Aia Angek sendiri diduga berada pada kontur tanah rawan, termasuk jenis tanah vulkanik lapuk seperti Septisol, yang lazim ditemukan di pegunungan dengan lereng curam dan struktur tanah gembur.
Jenis tanah tersebut mirip Litosol, Regosol, dan Grumusol yang memiliki karakter lapisan tebal namun kurang padat, mudah jenuh air, dan tidak stabil ketika diguyur hujan deras atau terguncang aktivitas tektonik kecil.
Kombinasi itu membuat kawasan perbukitan seperti Gunung Omeh sangat rentan terhadap longsor maupun pergerakan tanah merayap (creeping).
Selain faktor geologis, kondisi tata guna lahan yang tidak ideal turut memperburuk situasi. Area ladang dan sawah yang berada di lereng terjal menambah beban pada kontur tanah yang sebenarnya membutuhkan vegetasi rapat sebagai penyangga alami.
Sejak rumah-rumah mulai rusak parah, bantuan darurat dari pemerintah nagari, BPBD serta instansi terkait terus mengalir.
Tenda pengungsian didirikan di titik aman, sementara asesmen lanjutan dari tim geologi dan kebencanaan masih berjalan untuk memastikan peta kerawanan dan langkah relokasi yang dianggap paling aman.
Namun bagi sebagian warga, proses itu terasa lambat. Beberapa masih bertahan di rumah retak karena tidak punya pilihan lain. “Kami butuh kepastian. Ini bukan sekali dua kali terjadi. Kalau terus begini, bisa habis rumah satu kampung,” kata seorang warga lainnya yang memilih mengamankan barang-barang sebelum rumahnya sepenuhnya amblas.
Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota memastikan upaya penanganan akan dipercepat. Namun hingga menunggu hasil kajian teknis, ancaman tanah bergerak tetap membayangi aktivitas sehari-hari warga Aia Angek.
Di tengah cuaca ekstrem yang belum mereda, masyarakat setempat hanya bisa berharap tanah berhenti bergerak—meski tanda-tanda di lapangan menunjukkan sebaliknya.(*)














