Oleh: Prof. Dr. Ir. Musliar Kasim, M.S.
Ketua Majelis Pertimbangan Kelitbangan Sumbar
Pada penghujung tahun 2025, Sumatera Barat kembali diselimuti duka mendalam. Banjir bandang dan longsor yang meluluhlantakkan wilayah dari Agam, Tanah Datar, Padang Panjang, Padang Pariaman hingga Padang bukan hanya sekadar bencana alam musiman, melainkan tamparan keras terhadap sistem manajemen kebencanaan yang sejak lama pincang, gamang, dan gagap. Tamparan keras bagi pemerintah pusat maupun daerah, sebab skala kehancuran ini bahkan mendorong sejumlah pihak mendesak penetapan status Bencana Nasional, sebagai isyarat bahwa tragedi kali ini tidak lagi dapat dipandang sebagai musibah lokal semata. Padahal ini bukan pertama kalinya Sumatera Barat diterjang bencana, sehingga seharusnya pemerintah daerah sudah memahami persoalan tersebut.
Data yang tersedia menunjukkan besarnya dampak bencana. Per 12 Desember 2025, BNPB mencatat sedikitnya 990 orang dilaporkan meninggal dunia, sementara 222 lainnya masih hilang di tiga provinsi terdampak: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Dampak kerusakan juga masif, lebih dari 1.200 fasilitas umum rusak, termasuk fasilitas kesehatan, pendidikan, rumah ibadah, gedung pemerintahan, dan ratusan jembatan. Angka ini menjadikan bencana 2025 sebagai yang paling mematikan sejak Gempa Palu 2018.
Di Sumatera Barat, Kabupaten Agam menjadi wilayah dengan korban terbanyak, yakni lebih dari 192 orang, disusul Kabupaten Tanah Datar dan Padang Pariaman. Secara keseluruhan, lebih dari 3,3 juta jiwa terdampak dan sekitar 894 ribu orang terpaksa mengungsi. Total kerugian sementara di tiga provinsi diperkirakan mencapai Rp 68,6 triliun, angka yang mencerminkan kerusakan berat pada infrastruktur, permukiman, dan aktivitas ekonomi masyarakat. Namun di lapangan, masih terlihat jelas ketimpangannya, bahkan masyarakat terdampak justru lebih dulu bergerak bahu-membahu membantu satu sama lain, sementara pemerintah tampak lambat merespons.
Pada Kamis, 11 Desember 2025, saya melakukan peninjauan langsung ke Kecamatan Palembayan, salah satu titik terdampak paling parah. Dari lapangan terlihat jelas bahwa penanganan bencana berlangsung tanpa koordinasi yang memadai. Pada hari-hari awal, terjadi tumpang tindih kewenangan antara BPBD, TNI/Polri, Dinas Sosial, dan relawan dalam pendataan korban, distribusi bantuan, hingga operasi pencarian dan penyelamatan (SAR).
Terjadi jeda waktu yang terlalu panjang antara kejadian dan mobilisasi bantuan yang efektif. Pertanyaan mendasar “siapa melakukan apa, dan di mana?” tidak terjawab dengan jelas. Ini bukan kesalahan satu lembaga, melainkan potret dari sistem yang tidak pernah disiapkan dengan matang. Pemerintah pusat pun terlihat tidak memahami kondisi nyata di lokasi, ditambah kurangnya koordinasi antara berbagai pihak. Korban seperti sekadar dianggap angka statistik, bukan manusia yang sedang berjuang hidup.
Distribusi logistik juga tampak tidak merata. Di posko utama, bantuan menumpuk; sementara masyarakat di daerah terisolasi masih menunggu kebutuhan dasar. Jalur darat yang terputus di puluhan titik akibat rusaknya jalan dan jembatan membuat tim SAR kesulitan menjangkau lokasi. Padahal, evakuasi udara seharusnya dapat segera dimobilisasi untuk wilayah yang benar-benar terputus. Lemahnya infrastruktur penunjang, khususnya jalur transportasi darat, memperburuk keadaan. Ketika bencana terjadi, tidak ada infrastruktur alternatif yang dapat digunakan sehingga pemerintah terlihat kebingungan. Situasi makin pelik dengan lambatnya pembaruan data korban, yang pada akhirnya memperlambat penetapan status darurat dan mobilisasi bantuan lintas sektor secara optimal.
Bencana yang terjadi di Sumatera Barat bukan semata-mata akibat cuaca ekstrem. Ini adalah bencana ekologis yang merupakan akumulasi kelalaian panjang dalam pengelolaan lingkungan. Tutupan hutan di hulu daerah aliran sungai (DAS) terus menyusut akibat pembalakan liar, aktivitas ekstraktif, dan lemahnya pengawasan. Dampak dari deforestasi dan alih fungsi lahan sangat besar, sebab setiap tanaman memiliki fungsi ekologisnya masing-masing. Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai spons alami kini kehilangan daya serapnya.










