Penataan ruang pun jauh dari prinsip mitigasi; permukiman dan infrastruktur vital dibangun di zona rawan tanpa kajian risiko yang memadai, sementara bangunan sabo dam untuk menahan aliran lahar juga minim jumlahnya. Kurangnya ketegasan pemerintah terhadap masyarakat yang mendirikan bangunan di daerah aliran air, serta terhadap berbagai pelanggaran tata ruang lainnya, memperparah kerentanan. Ini merupakan kelalaian yang muncul dari ketidaktegasan dan ketidakkonsistenan pemerintah terhadap aturannya sendiri. Kita seolah menerima risiko tersebut sebagai kewajaran, bukan ancaman.
Sistem peringatan dini pun tidak bekerja secara efektif. Masyarakat tidak segera bergerak, aparat tidak serentak mengeluarkan instruksi evakuasi, dan koordinasi di lapangan terhambat oleh minimnya protokol yang tegas. Ketika air bah datang, semuanya tampak gagap. Kurangnya edukasi dan pemahaman kebencanaan di masyarakat juga memperburuk keadaan. Kita belum memiliki budaya siaga yang kuat, padahal Sumatera Barat berkali-kali menghadapi bencana serupa. Pemerintah perlu lebih tanggap terhadap imbauan dari instansi terkait sehingga pencegahan dini dapat dilakukan.
Pada fase rehabilitasi, tantangan lain menanti. Dengan kebutuhan pemulihan infrastruktur dan ekonomi yang mencapai puluhan triliun rupiah, tanpa intervensi serius dari pemerintah pusat proses ini akan berjalan lambat dan tidak terarah. Evaluasi penanganan lahar dingin pada 2024 menunjukkan bahwa pemulihan yang tidak terencana dengan baik hanya akan membuat masyarakat kembali rentan saat bencana berikutnya datang. Sektor pertanian, peternakan, dan pariwisata, yang merupakan tulang punggung ekonomi Sumatera Barat, mengalami kerusakan berat. Yang diperlukan masyarakat bukan hanya bantuan sementara, tetapi kehadiran pemerintah yang nyata dalam penanggulangan bencana saat ini maupun pascabencana ke depan, karena trauma yang mereka rasakan tidak akan hilang begitu saja.
Tragedi ini semestinya menjadi titik balik terakhir. Pemerintah pusat harus memperkuat dukungan, termasuk melalui restorasi ekosistem hulu, moratorium terhadap izin-izin ekstraktif, penataan ruang berbasis mitigasi, relokasi permukiman di zona merah, serta penguatan kapasitas kebencanaan masyarakat lokal.
Kolaborasi antarpihak juga harus diperkuat, disertai pembangunan infrastruktur yang kuat dan berkelanjutan. Kita tidak boleh lagi terjebak dalam siklus duka tahunan akibat manajemen bencana yang reaktif, bukan proaktif. Penataan tata ruang dan pembangunan infrastruktur tahan bencana harus menjadi prioritas utama.
Peristiwa ini menyampaikan pesan yang sederhana: ketika alam kehilangan keseimbangan, manusia harus membayar harga paling mahal. Sudah terlalu banyak nyawa melayang dan terlalu besar kerugian negara untuk terus memandang bencana sekadar sebagai takdir. Negara wajib kembali pada mandat konstitusionalnya: melindungi keselamatan rakyat dan menjaga kelestarian lingkungan. Tanpa itu, banjir bandang berikutnya hanya soal waktu, dan Sumatera Barat akan terus menjadi halaman depan statistik bencana nasional.*










