Karena itu, penekanan Gubernur Sumatera Barat (baca: juga sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah) agar bupati dan wali kota menyampaikan data dampak bencana secara akurat menjadi krusial. Data bukan sekadar angka laporan, melainkan fondasi keadilan. Tanpa data yang dapat dipercaya, distribusi bantuan rawan timpang, sebagian wilayah tertangani berlebih sementara yang lain terabaikan. Ketidakakuratan data pada akhirnya bukan hanya persoalan teknis, tetapi masalah administrasi (tata kelola) pemerintahan bahkan hingga pertanggungjawaban.
Lebih jauh, status bencana menentukan struktur komando dan arah koordinasi. Penetapan status, membuka atau menutup akses terhadap sumber daya nasional, bahkan keikutsertaan negara/lembaga asing, memperjelas peran pemerintah pusat, serta menjadi dasar akuntabilitas penggunaan keuangan negara. Status yang tidak proporsional dengan dampak faktual berisiko menempatkan daerah sendirian menghadapi krisis yang melampaui kemampuannya.
Refleksi dari peristiwa ini membawa kita pada pertanyaan mendasar: apakah negara (Pusat hingga Daerah) telah menempatkan keselamatan warga sebagai ukuran utama dalam setiap keputusan kebencanaan? Ataukah ukuran administratif masih lebih dominan dibanding kebutuhan nyata di lapangan? Di sinilah hukum diuji bukan sebagai teks, tetapi sebagai keberanian mengambil keputusan dalam situasi genting.
Ke depan, penetapan status bencana perlu semakin berbasis pada indikator objektif dan penilaian cepat yang terukur. Pemanfaatan data hidrometeorologi, citra satelit, dan analisis risiko harus menjadi bagian dari praktik pengambilan keputusan, bukan pelengkap belaka. Negara dituntut adaptif, karena bencana bergerak lebih cepat daripada prosedur.
Selain itu, isu yang tidak kalah mendesak adalah penetapan lokasi pembangunan hunian sementara (huntara). Keputusan mengenai lokasi huntara tidak boleh bersifat tergesa-gesa ataupun sekadar memanfaatkan tanah yang tersedia. Ia harus mempertimbangkan aspek keselamatan dari ancaman bencana lanjutan, akses terhadap layanan dasar, keberlanjutan mata pencaharian warga, serta ikatan sosial komunitas terdampak. Kesalahan dalam menentukan lokasi huntara berpotensi menciptakan kerentanan baru dan memperpanjang penderitaan korban.
Urgensi penetapan huntara semakin nyata karena fase tanggap darurat ini beririsan dengan periode libur Natal dan Tahun Baru, serta tidak lama lagi memasuki dua bulan menjelang Ramadan. Momentum sosial-keagamaan tersebut menuntut kepastian tempat tinggal yang layak agar para penyintas tidak terus berada dalam ketidakpastian. Negara tidak cukup hanya menyediakan bantuan logistik, tetapi juga harus memastikan ruang hidup sementara yang manusiawi dan bermartabat.











