Hal senada juga disampaikan tokoh pers senior, Hasril Chaniago. Menurutnya, pemulihan pascabencana membutuhkan orkestrasi besar yang tidak bisa diserahkan semata kepada mekanisme birokrasi rutin.
“Terlepas dari status bencana nasional atau tidak, Presiden sudah menyatakan negara bertanggung jawab. Persoalannya, ketika bantuan asing ditolak, bantuan dari pemerintah yang diharapkan justru belum berjalan optimal. Di sinilah dilema itu muncul,” ujar Hasril.
Ia menilai, situasi ini harus menjadi momentum membangkitkan kembali kebersamaan. Penanganan bencana bukan hanya urusan pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kolektif seluruh elemen masyarakat.
Hasril menekankan perlunya satu figur atau lembaga yang mampu mengorkestrasi seluruh potensi pemulihan, mulai dari tenaga, pemikiran, sumber daya, hingga kewenangan. Ia mengusulkan pembentukan badan khusus pemulihan pascabencana, serupa dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh pascabencana tsunami 2004.
“Pemerintah sudah menetapkan anggaran pemulihan, tapi jelas tidak semua bisa ditanggung. Aparatur juga diliputi ketakutan akan pemeriksaan aparat penegak hukum, sehingga dana yang ada tidak terserap maksimal. Sementara masyarakat menjerit butuh penanganan,” katanya.
Keresahan serupa disampaikan Ketua Majelis Kelitbangan Sumbar, Prof. Musliar Kasim. Dari hasil pengamatannya di lapangan, ia menilai gerak paling nyata justru terlihat dari unsur TNI, sementara pemerintah daerah bergerak sangat terbatas akibat kendala kewenangan dan pembiayaan.














