Sementara itu, Ketua Dewan Kehormatan Provinsi (DKP) PWI Sumbar, Zul Effendi menegaskan bahwa momentum pascabencana harus dijadikan titik balik untuk memperkuat kebersamaan seluruh elemen masyarakat Sumbar dalam membangun daerah secara kolektif dan berkelanjutan.
Ia menilai, upaya pemulihan Sumbar pascabencana tidak akan efektif jika dijalankan secara sektoral dan terpisah-pisah. Sebaliknya, dibutuhkan soliditas antar unsur, mulai dari pemerintah, perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, hingga elemen adat tali tigo sapilin dalam satu gerak bersama.
Menurut Zul, setiap peristiwa besar selalu mengandung hikmah. Namun, hikmah tersebut tidak akan hadir dengan sendirinya tanpa kesadaran kolektif dan kerja bersama yang nyata. “Setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Tapi kemudahan itu hanya bisa diraih dengan ikhtiar bersama-sama. Tidak cukup hanya dengan doa,” katanya.
Ia menekankan bahwa setiap elemen memiliki fungsi dan peran yang harus dijalankan sesuai kapasitas masing-masing. Ikhtiar karenanya harus diwujudkan dalam tindakan konkret, bukan sekadar wacana.
Di lain pihak, wartawan senior, Firdaus Abie menyoroti pola penanganan bencana yang cenderung hanya masif di awal, lalu cepat mengendur setelah sorotan publik mereda. “Kita ini sering kalibuik ketika musibah saja. Satu minggu setelah itu, semua mulai dilupakan,” ucapnya.
Ia menilai, pola tersebut harus diakhiri dengan membangun sistem penanganan bencana yang berkelanjutan. Salah satunya melalui pembentukan lembaga ad hoc yang secara khusus bertugas mengawal proses pemulihan pascabencana. Pemulihan, menurutnya, tidak hanya soal membangun kembali infrastruktur yang rusak, tetapi juga merawat kembali kepercayaan sosial yang mulai terkikis.
Firdaus Abie mengingatkan bahwa bencana sejatinya tidak hanya merusak alam, tetapi juga menguji ketahanan sosial. Tanpa penanganan yang terencana dan berkelanjutan, luka pascabencana akan semakin dalam dan sulit dipulihkan. (*)














