Ia menekankan bahwa pengelolaan bencana harus bergeser dari pendekatan responsif menuju mitigasi dan pencegahan jangka panjang. Salah satu langkah krusial adalah memasukkan pendidikan mitigasi bencana ke dalam kurikulum sekolah, perguruan tinggi, hingga penguatan nagari siaga bencana.
Ia juga mengungkapkan ironi dunia akademik yang selama ini telah menghasilkan banyak riset dan kajian kebencanaan, namun belum sepenuhnya dimanfaatkan dalam kebijakan publik. Kesenjangan antara pengetahuan ilmiah dan praktik lapangan disebutnya sebagai persoalan serius. “Riset kita tidak sedikit. Tapi tantangannya adalah bagaimana hasil riset itu diterjemahkan menjadi kebijakan dan tindakan nyata. Di sinilah negara harus hadir,” katanya.
Kesalahan Memaknai Bencana
Dosen Filsafat dan Politik Hukum Universitas Ekasakti (Unes) Padang, Otong Rosadi mengingatkan bahwa kesalahan terbesar dalam penanganan bencana sering kali berawal dari kesalahan memberi makna dan mengambil keputusan sejak awal.
Ia secara khusus mengkritik penggunaan istilah hidrometeorologi yang menurutnya kerap dipakai secara tergesa-gesa dan disederhanakan, bahkan cenderung peyoratif. Padahal, istilah tersebut memiliki makna ilmiah yang tidak sesederhana hujan lebat atau cuaca ekstrem.
“Hidrometeorologi itu ilmu. Ia menggabungkan perubahan iklim dan siklus hidrologi. Air itu konstan, tidak berkurang. Ia hanya berubah bentuk dan tempat, lalu akan mencari jalannya kembali,” kata Otong.
Menurutnya, ketika istilah tersebut dipakai tanpa pemahaman utuh, maka kebijakan yang lahir pun berpotensi keliru. Kesalahan memaknai bencana adalah kesalahan dalam mengambil keputusan publik. “Kita tidak boleh sembarangan memakai istilah. Kesalahan kita memberi makna, akan berujung pada kesalahan kita mengambil keputusan,” katanya.














