Otong menilai, bencana yang berulang di Sumbar tidak bisa lagi dilihat semata sebagai peristiwa alam. Ada dosa ekologis yang telah lama diabaikan dan kini menagih harga mahal. “Kita harus melakukan jihad ekologis. Tapi jihad itu harus dimulai dengan tobat ekologis. Karena illegal logging dan illegal mining sudah terlalu masif,” ujarnya.
Tak Hanya Soal Status
Penetapan status bencana, bahkan jika naik ke level nasional, di sisi lain dinilai tidak akan bermakna apa pun jika negara terus abai terhadap akar persoalan: pembiaran sistematis terhadap perusakan hutan dan sungai.
Pakar Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB), Firman Hidayat menegaskan bahwa Sumbar tidak sedang kekurangan status dan seremoni, melainkan kekurangan keberanian politik untuk menghentikan praktik illegal logging dan illegal mining yang telah lama menggerogoti bentang alam Minangkabau.
“Kita sepakat penetapan status bencana nasional itu penting. Kita dukung pembentukan tim ad hoc pemulihan. Tapi bencana ini tidak boleh berhenti di sana. Kalau akar masalahnya tidak disentuh, kita hanya menunggu bencana berikutnya,” kata Firman.
Menurut Firman, pemulihan pascabencana membutuhkan kepemimpinan yang jelas, kuat, dan berwibawa. Bukan sekadar koordinasi administratif. Tanpa satu figur pemimpin yang mampu mengkonsolidasikan langkah lintas sektor dan lintas kepentingan, upaya pemulihan akan kembali berjalan terpisah-pisah dan saling menunggu.
“Kita butuh figur yang benar-benar memimpin pemulihan negeri ini. Yang punya kewenangan, punya keberanian, dan tidak takut mengambil risiko. Kalau tidak, semua akan bergerak sendiri-sendiri dan saling lempar tanggung jawab,” tuturnya. (*)














