Ia juga menekankan pentingnya mengintegrasikan kembali kearifan lokal Minangkabau dengan pendekatan ilmiah modern. Menurutnya, keduanya tidak saling bertentangan, justru saling menguatkan.
“Kearifan lokal itu ilmu yang lahir dari pengalaman panjang. Kalau dipertemukan dengan sains, kita punya sistem tata ruang yang jauh lebih bijak,” katanya.
Diskusi tersebut menegaskan satu kesimpulan besar, bencana di Sumatra Barat bukanlah sekadar takdir alam, melainkan konsekuensi dari pilihan-pilihan pembangunan. Ketika adat diabaikan, ilmu dipinggirkan, dan aturan dilanggar, alam akan menagih dengan caranya sendiri.
Tanpa keberanian merevisi tata ruang secara menyeluruh, menegakkan perizinan berbasis mitigasi, serta mengembalikan kearifan lokal sebagai kompas pembangunan, Sumatra Barat hanya akan terus berputar dalam lingkaran bencana yang sama dengan korban yang kian besar setiap waktunya. (*)














