JAKARTA, HARIANHALUAN.ID —
Keputusan pemerintah pusat membatalkan kebijakan pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) bagi tiga provinsi terdampak bencana Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara, mendapat apresiasi dari berbagai pihak.
Anggota DPD RI asal Sumatera Barat, Cerrint Irraloza Tasya, menyebut langkah tersebut sebagaikoreksi kebijakan yang berpihak pada rasa keadilan dan kemanusiaan.
Sejak awal pembahasan di DPD RI, Cerrint dikenal sebagai salah satu senator yang paling vokal menolak pemangkasan TKD di daerah yang tengah berjuang pulih dari bencana.
Ia menilai, kebijakan fiskal yang tidak mempertimbangkan kondisi kebencanaan berpotensi memperlambat pemulihan dan menambah beban pemerintah daerah.
“Evaluasi kebijakan fiskal sangat menentukan skala dan kecepatan pemulihan bencana. Daerah terdampak membutuhkan ruang fiskal yang cukup, bukan justru dipangkas,” ujar Cerrint Kamis (18/12/2025).
Menurutnya, TKD bukan sekadar pos anggaran, melainkan instrumen vital untuk memastikan layanan dasar, rehabilitasi infrastruktur, dan perlindungan sosial tetap berjalan di tengah situasi darurat dan pasca bencana.
Cerrint mengapresiasi sikap pemerintah pusat yang akhirnya membuka ruang dialog dan mencabut kebijakan tersebut. Ia menilai keputusan itu menunjukkan bahwa aspirasi daerah masih didengar dalam perumusan kebijakan nasional.
“Ini keputusan yang tepat. Dalam situasi bencana, negara harus hadir melalui kebijakan yang memperkuat, bukan melemahkan, kemampuan daerah,” tegasnya.
Lebih jauh, Cerrint menegaskan bahwa pembatalan pemangkasan TKD harus diikuti dengan langkah strategis di tingkat daerah, terutama evaluasi menyeluruh terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sumatera Barat.
Ia mengingatkan bahwa Sumbar memiliki kerentanan tinggi terhadap berbagai jenis bencana.
“Sumatera Barat ini bisa disebut supermarket bencana. Hampir semua potensi bencana ada di sini banjir, longsor, gempa, hingga galodo. Karena itu, pembangunan tidak boleh lagi berjalan tanpa perspektif mitigasi dan risiko bencana,” kata Cerrint.
Ia menekankan, ke depan pembangunan harus berbasis mitigasi dan pengurangan risiko bencana. Bukan semata mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek. RTRW, menurutnya, harus menjadi instrumen pengendali, bukan sekadar dokumen administratif.
“Kalau tata ruang tidak dievaluasi dan disesuaikan dengan realitas risiko bencana, maka anggaran sebesar apa pun akan habis untuk menambal kerusakan yang berulang,” ujarnya.
Cerrint mendorong agar evaluasi RTRW dilakukan secara partisipatif, melibatkan akademisi, masyarakat sipil, dan komunitas terdampak, sehingga kebijakan ruang benar-benar berpihak pada keselamatan masyarakat.
Ia berharap, kombinasi keadilan fiskal melalui kebijakan TKD dan penataan ruang berbasis mitigasi dapat menjadi fondasi kuat bagi Sumatera Barat untuk bangkit, bukan hanya dari bencana terakhir, tetapi juga dari siklus bencana yang selama ini terus berulang.
“Ini momentum untuk berbenah. Jangan sampai kita terus sibuk memulihkan, tapi lupa mencegah,” tutup Cerrint. (*).














