PADANG, HARIANHALUAN.ID – Penanganan dampak bencana hidrometeorologi di Sumatera Barat masih memasuki fase krusial. Hingga Selasa (17/12/2025) pukul 06.00 WIB, sebanyak 11.228 jiwa tercatat masih mengungsi di 158 titik pengungsian yang tersebar di berbagai kabupaten dan kota. Data resmi Dinas Sosial (Dinsos) Sumatera Barat menunjukkan, untuk menopang kebutuhan dasar pengungsi, pemerintah bersama relawan dan lembaga sosial mengoperasikan 60 dapur umum di wilayah terdampak. Dapur umum tersebut tersebar di Kabupaten Agam, Tanah Datar, Solok, Pesisir Selatan, Padang Pariaman, Kota Padang, hingga Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Kepala Dinsos Sumbar, Syaifullah mengatakan keberadaan dapur umum menjadi tulang punggung pemenuhan kebutuhan logistik harian, terutama bagi pengungsi non-mandiri yang masih bergantung penuh pada bantuan pemerintah.
“Untuk pengungsian, kami lakukan update data dua kali sehari. Kabupaten dan kota diminta menyampaikan data detail keluarga terdampak agar distribusi logistik bisa tepat sasaran,” ujar Syaifullah kepada Haluan Rabu (17/12/2025).
Berdasarkan rekapitulasi Dinsos Sumbar, jumlah pengungsi terbesar berada di Kabupaten Agam dengan 4.316 jiwa di 47 titik, disusul Kabupaten Solok sebanyak 3.067 jiwa di 39 titik dan Kabupaten Tanah Datar sebanyak 1.512 jiwa di 35 titik. Sementara daerah lain seperti Padang Pariaman, Pasaman Barat, Lima Puluh Kota, Kepulauan Mentawai, dan Pesisir Selatan juga masih mencatat ratusan hingga ribuan warga terdampak.
Pengungsian dibagi menjadi dua kategori, yakni pengungsian mandiri (menempati rumah kerabat, tetangga, atau keluarga) dan pengungsian non-mandiri (tenda, aula, rumah ibadah, dan fasilitas umum). Di sejumlah daerah, pengungsi mandiri justru lebih banyak, menandakan adanya keterbatasan daya tampung posko.
Syaifullah menegaskan, fokus utama Dinsos saat ini bukan hanya pada distribusi bantuan, tetapi juga penajaman dan validasi data sosial. Menurutnya, bencana telah mengubah kondisi ekonomi banyak keluarga secara drastis. “Kalau dulu seseorang bisa saja berada di desil atas dan tidak menerima bantuan, hari ini kondisinya bisa berubah. Bencana tidak mengenal kasta ekonomi,” tegasnya.
Ia menjelaskan, data yang digunakan mengacu pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang diperbarui secara berkala setiap tiga bulan. Namun, dalam situasi bencana, Dinsos melakukan penyesuaian melalui laporan lapangan yang dikirim kabupaten/kota dan diverifikasi oleh jaringan petugas sosial.
“Kami punya TKSK, Tagana, Karang Taruna, dan tim lapangan lainnya. Tapi kami akui, ini tidak mudah. Tidak semua pengungsi rutin berada di posko, sehingga data bisa berubah-ubah,” ujarnya.
Syaifullah tak menampik bahwa kondisi tersebut membuka ruang kerawanan, mulai dari ketidakpercayaan warga terhadap posko hingga potensi ketimpangan distribusi bantuan. Namun ia memastikan, validasi berlapis terus dilakukan agar bantuan tidak salah sasaran.
Di sisi pendanaan, Syaifullah menjelaskan bahwa donasi yang masuk untuk pemulihan Sumbar sebagian besar berbentuk barang logistik. Sementara donasi uang tercatat masuk melalui beberapa skema, baik ke rekening nasional maupun ke kas daerah.
“Kalau donasi uang, ada yang masuk ke rekening pusat, ada juga yang ke BPKD. Yang kami kelola di Dinas Sosial itu bantuan dari Kemensos dan BPBD, dan itu sudah kami salurkan sesuai mekanisme,” katanya.
Terkait akses wilayah, Syaifullah memastikan bahwa saat ini tidak ada lagi daerah yang sepenuhnya terisolasi. Seluruh lokasi terdampak sudah dapat dijangkau, meski di beberapa titik masih harus ditempuh dengan kendaraan roda dua akibat kondisi jalan yang belum pulih. “Malalak dan beberapa wilayah rawan longsor masih kami pantau ketat, karena bencana ini dinamis. Hari ini bisa aman, besok bisa muncul longsor atau banjir baru,” ujarnya.
Dengan masih ribuan warga bertahan di pengungsian dan dinamika data yang terus berubah, Dinsos Sumbar menegaskan bahwa fase tanggap darurat belum sepenuhnya selesai. Pemenuhan kebutuhan dasar, penguatan dapur umum, serta keakuratan data sosial menjadi fondasi penting sebelum pemerintah masuk sepenuhnya ke tahap rehabilitasi dan rekonstruksi.
“Yang terpenting sekarang, masyarakat tetap terlayani dengan baik. Setelah itu, kita bicara pemulihan bukan hanya rumah, tapi juga pemulihan ekonomi dan martabat sosial warga terdampak,” pungkas Syaifullah (*)














