Laporan : Yesi Deswita di Jepang
“Jepang adalah contoh terbaik bagaimana sebuah negara mampu mengubah kerentanan geografis menjadi kekuatan penanganan bencana,” pakar geologi dan kegempaan, Pakhrur Razi, Ph.D.
JEPANG, HARIANHALUAN.ID – Gempa dengan kekuatan M7.6 yang berpusat di Aomori berpotensi tsunami terjadi, Senin (8/12) malam sekitar pukul 22.30 waktu setempat.
Gempa tersebut terasa hingga ke Tokyo. Awak Haluan yang sedang packing sambil menonton TV di lantai 11 Hotel Tokyo Green Palace, turut merasakan guncangan yang begitu kuat dan durasi yang cukup lama.
Di TV, alarm tsunami untuk beberapa tempat yang rawan sudah berbunyi, sembari ayunan gempa masih terus terasa hingga ke Tokyo.
Berbeda dengan Indonesia, saat awak Haluan mencoba melihat keluar, seperti tidak terjadi apa-apa. Bahkan orang-orang masih bisa menikmati sake, coffee with style. Hidup berjalan seperti seharusnya. Tidak ada kepanikan sama sekali di Tokyo.
Padahal ayunan gempa begitu kuat dan lama. Kalau di Kota Padang Indonesia yang juga rawan gempa, dengan kekuatan M6,3 saja, semua sudah luluh lantak. Dan tentunya masyarakat sudah “tabang ambua” (berlarian kesana kemari) menyelamatkan diri.
Berbagai pesan dari keluarga dan rekan kerja di Indonesia mulai masuk silih berganti, menanyakan apakah kondisi awak Haluan yang sedang berada di Jepang aman.
Panitia penyelenggara program JENESYS 2025 yang dikonfirmasi Haluan saat kejadian mengatakan semua terpantau aman.
“You are fine, happy dream. your comfort and safety is our top priority. our housings are earthquake proof so your host families are fine no problem thank you,” jelas salah seorang panitia.
Dari sini terlihat mitigasi gempa di Jepang sudah sangat bagus. Early warning system bekerja dengan sangat baik. Sehingga untuk ukuran gempa sebesar ini semua seperti tidak terjadi apa-apa.
Terpisah, Pakhrur Razi, Ph.D yang kini dikenal sebagai pakar gempa dan akademisi di Universitas Negeri Padang (UNP) dan dulunya pernah menamatkan S3 di Chiba University Japan mengatakan sebagai negara yang berdiri di atas cincin api Pasifik, Indonesia tak pernah lepas dari ancaman gempa besar, termasuk Kota Padang yang berada di hadapan zona megathrust Mentawai.
“Jepang adalah contoh terbaik bagaimana sebuah negara mampu mengubah kerentanan geografis menjadi kekuatan penanganan bencana. Ada beberapa pelajaran penting yang dapat dipetik. Pertama, Jepang membangun sistem regulasi bangunan yang sangat ketat dan terus diperbarui setelah setiap gempa besar. Hasilnya, bangunan modern mereka relatif tahan guncangan hebat dan mampu meminimalkan korban jiwa,” ujar Pakhrur, Rabu (10/12).
Kedua, Jepang secara konsisten melakukan retrofitting terhadap infrastruktur kritis seperti rumah sakit, sekolah, pusat komando, dan jaringan transportasi sehingga fungsi vital tetap berjalan pascabencana.
Ketiga, mereka menanamkan budaya kesiapsiagaan sejak usia dini melalui kurikulum sekolah, latihan berkala, simulasi yang realistis, dan komunikasi risiko yang tidak putus. Keempat, Jepang menjalankan sistem deteksi dan peringatan dini yang sangat terintegrasi mulai dari sensor seismik, sirene publik, hingga peringatan gawai didukung standar operasional di setiap instansi sehingga respons dapat berlangsung cepat dan terkoordinasi tanpa menunggu perintah panjang.
Dalam konteks tersebut, Pakhrur menyebut pelaksanaan Padang Tsunami Drill pada 5 November 2025 adalah langkah yang patut diapresiasi. Kegiatan yang melibatkan puluhan kelurahan rawan tsunami, sekolah, universitas, aparat keamanan, dan ribuan warga ini menunjukkan komitmen kuat pemerintah Kota Padang dalam membangun kesiapsiagaan publik.
“Simulasi besar ini memberikan ruang uji nyata bagi kecepatan evakuasi, efektivitas sirene peringatan dari BMKG, pemahaman masyarakat terhadap rute evakuasi, serta koordinasi antarlembaga. Dari sisi psikologis, drill tersebut meningkatkan awareness masyarakat bahwa ancaman tsunami bukan sekadar wacana akademik, tetapi sebuah kemungkinan yang harus siap dihadapi kapan saja,” jelasnya.
Latihan ini juga membuka kesempatan untuk menemukan berbagai kendala teknis seperti titik kemacetan, keterbatasan tempat aman, jalur evakuasi yang belum optimal, dan kebutuhan personel tambahan di titik kumpul.
Data-data seperti ini sangat penting untuk penyempurnaan rencana kontinjensi.
Namun, saya menilai bahwa latihan skala besar hanya akan efektif jika diikuti tindakan nyata pada tataran struktural dan kebijakan. Drill tidak akan banyak berarti jika bangunan-bangunan penting masih rentan terhadap guncangan besar atau jika sekolah dan fasilitas kesehatan belum diperkuat sesuai standar teknis.
Di wilayah pesisir Padang yang padat, kebutuhan bangunan evakuasi vertikal yang lebih banyak juga menjadi sangat mendesak, mengingat tidak semua kawasan memiliki akses cepat menuju dataran tinggi. Selain itu, kualitas data kependudukan, pemetaan risiko mikro hingga tingkat RT, serta analisis rute evakuasi berbasis kondisi lapangan perlu ditingkatkan agar latihan berikutnya lebih terukur dan berbasis bukti.
Padang memiliki peluang besar untuk menjadi kota pesisir yang tangguh menghadapi gempa dan tsunami bila mampu menggabungkan pembelajaran dari Jepang dengan konteks lokal. Kuncinya adalah keberlanjutan: penegakan standar bangunan, program pendidikan kebencanaan yang konsisten, penguatan sistem peringatan dini, pembangunan infrastruktur evakuasi yang memadai, serta latihan yang dilakukan secara rutin bukan hanya dalam rangka memperingati hari tertentu.
Menurutnya, Padang Tsunami Drill 5 November 2025 adalah pijakan awal yang baik. Jika langkah ini diikuti dengan perbaikan teknis dan kebijakan berbasis data, maka risiko korban dan kerusakan dapat ditekan secara signifikan. Pada akhirnya, kesiapsiagaan bukan hanya urusan pemerintah, tetapi budaya kolektif sebuah kota yang memilih untuk belajar, berlatih, dan bertindak sebelum bencana datang. (h/yes)














