Oleh: Okkie Fiandri (Public Finance and Public Policy, Melbourne, Australia)
Di tanah Sumatera yang selama berabad-abad telah menjadi panggung perjumpaan antara manusia dan alam, kini banjir beberapa waktu terakhir seolah-olah seperti bisikan keras yang tak bisa lagi diabaikan. Dari Sumatera Barat, Aceh, hingga Sumatera Utara, air yang meluap bukan hanya membawa lumpur, tetapi juga pertanyaan. Pertanyaan tentang bagaimana kita hidup berdampingan dengan alam, menikmati hasilnya, namun lupa menanggung konsekuensinya. Alam, dengan caranya yang sunyi dan pasti, selalu mencari ekuilibriumnya sendiri.
Menariknya, jauh sebelum Indonesia merdeka, pemerintah kolonial Belanda sudah melakukan kajian hidrologi dan geologi di sepanjang Bukit Barisan yang dituangkan melalui peraturan kehutanan Hindia Belanda (Boschordonantie 1927). Mereka menetapkan banyak kawasan di Sumatera sebagai daerah yang tidak boleh dieksplorasi secara bebas atau orang Sumatera Barat lebih mengenal dengan hutan larangan (Beschermde Bos), bukan karena idealisme ekologis, tetapi karena penelitian mereka menemukan tanah-tanah yang rapuh, tanah vulkanik muda yang menyimpan kantong-kantong air besar di bawahnya. Mereka tahu, jika hutan di wilayah itu dibuka, air akan kehilangan penyangganya, lereng akan kehilangan pijakannya, dan bencana tinggal menunggu waktu. Ironisnya, apa yang dulu dicatat dalam laporan kolonial dan diabaikan sebagai catatan tua kini kembali muncul sebagai kenyataan yang mengetuk pintu kita.
Selama bertahun-tahun, persoalan banjir sering dibungkus dengan narasi cuaca ekstrem atau anomali iklim. Namun realitanya lebih dari itu, banjir adalah potret retak hubungan manusia dan lingkungannya. Hutan yang dulu menjadi penjaga air kini ditekan dari segala arah, eksploitasi berjalan atas nama pembangunan, sementara pengawasan dan kebijakan sering kali hanya tinggal istilah. Ironisnya, publik didorong untuk percaya pada dikotomi palsu (false dichotomy) antara mereka yang menjaga hutan dan mereka yang menggerakkan ekonomi. Padahal kenyataannya tidak sesederhana itu.
Di tengah retaknya hubungan ini, pemerintah kerap hadir dalam bentuk yang membingungkan, pemberi izin sekaligus pemberi imbauan moral, pengatur kebijakan sekaligus pihak yang absen ketika dampak dari kebijakan itu datang. Greenwashing pun menjadi semacam kosmetik politik program penghijauan kecil-kecilan dijadikan panggung besar untuk menutupi izin-izin yang terus berjalan. Ada pepatah lama mengatakan “alam takambang jadi guru”, tetapi mungkin kita salah menafsirkan selama ini, karena jika memang alam guru, maka banjir ini adalah ulangan yang nilainya ingin Ia tunjukkan kepada kita, nilai yang tentu tidak membuat kita bangga.
Solusi untuk masalah ini sebetulnya bukan rahasia besar, kembalikan keseimbangan antara pemanfaatan alam dan perlindungan jangka panjangnya. Itu berarti memperlakukan hutan bukan sebagai komoditas cadangan, melainkan sebagai infrastruktur ekologis yang menopang kehidupan. Negara memiliki tanggung jawab besar untuk meninjau ulang izin tambang dan eksploitasi hutan, memperbaiki tata kelola, serta berhenti menjadikan jargon hijau sebagai pengganti tindakan nyata.
Namun, solusi tidak bisa berhenti di meja kebijakan saja. Perubahan juga menuntut keterlibatan masyarakat, bukan hanya melihat ini sebagai bencana tahunan saja, melainkan dalam cara kita memaknai ruang hidup. Sungai perlu dikembalikan sebagai ruang bernapas, tanah diberi kesempatan menyerap air, dan api berhenti dijadikan jalan pintas untuk membuka lahan. Kesadaran ekologis tumbuh bukan dari slogan, melainkan dari kebiasaan harian yang menganggap alam sebagai bagian dari keluarga.
Kita dapat menanam pohon untuk fungsi, bukan simbol, menghidupkan kembali gotong royong ekologis, serta memperhatikan setiap tetes hujan dan setiap tarikan napas tanah sebagai bagian dari kehidupan bersama.bukan sekadar latar belakang kehidupan. Langkah-langkah sederhana ini mungkin tidak terdengar heroik, tetapi justru di sanalah fondasi pencegahan bencana dibangun dari kebiasaan sehari-hari yang konsisten.
Di sisi lain, negara wajib hadir lebih awal, bukan sekadar datang setelah bencana. Sistem peringatan dini tentang potensi banjir di musim hujan atau ancaman kebakaran di musim kemarau harus menjadi bagian dari pelayanan publik yang serius, mudah diakses, dan dapat dipercaya. Informasi yang tepat waktu bukan hanya menyelamatkan harta benda, tetapi juga memberi masyarakat ruang untuk bersiap dan bertindak.
Lebih dari itu, solusi menuntut perubahan cara kita mencintai alam. Di banyak wilayah adat dan hukum masyarakat adat berlaku di Indonesia, hutan tidak dipandang sebagai objek yang bisa dihabiskan, melainkan sebagai ibu sumber kehidupan yang memberi, merawat, dan harus dijaga. Pandangan ini mengajarkan bahwa relasi manusia dan alam seharusnya dibangun atas dasar hormat, bukan semata-mata untung rugi. Mungkin inilah pelajaran yang perlu kita ingat kembali bahwa, menjaga alam bukan pengorbanan, melainkan bentuk tanggung jawab terhadap keluarga besar kehidupan itu sendiri.
Mari kita ubah cara pandang kita kedepan. Manusia bukanlah penguasa tunggal yang berdiri di atas alam, tetapi bagian dari sistem yang lebih besar. Kita membutuhkan kebijakan yang tegas, pengawasan yang konsisten, serta keberanian untuk mengakui kesalahan masa lalu. Dan yang paling penting: berhenti menciptakan dikotomi palsu. Yang diperlukan bukan memilih antara menjaga hutan atau mengambil manfaat darinya, tetapi menata ulang bagaimana keduanya bisa berjalan bersama.
Pada akhirnya, alam akan selalu menagih keseimbangan yang menjadi haknya. Jika manusia terus mengabaikan ritme itu, maka alam akan menulis ulang aturan mainnya sendiri dengan caranya yang tidak selalu lembut. Banjir-banjir ini bukan sekadar peristiwa cuaca, tetapi sebuah pengingat. Bahwa kita mungkin terlalu lama mengabaikan pelajaran dari guru yang selama ini merasa kita puja dalam pepatah, namun jarang kita dengarkan dalam tindakan. Dan seperti semua guru yang baik, alam tidak akan berhenti mengajar hingga kita benar-benar belajar. (*)










