Di lapangan, Ombudsman Sumbar juga melihat pemerintah dan masyarakat masih “berkejaran” memulihkan fasilitas umum dan rumah warga. Namun, tantangan terbesar justru ada pada tahap lanjutan, yaitu transisi dari pengungsian ke hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap).
“Ada masalah krusial yang harus dimitigasi dari sekarang. Banyak kasus masyarakat tidak mau pindah ke huntara atau huntap. Kalau ini tidak dideteksi sejak awal, bangunan sudah selesai tapi kosong,” ujarnya.
Masalah ini, menurut Adel, tidak bisa dilepaskan dari pendataan yang tidak presisi dan minimnya edukasi kepada warga terdampak. Adel juga mengingatkan bahwa fase rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab-rekon) selalu menjadi titik rawan. Pemerintah pusat telah menjanjikan kucuran dana besar untuk Sumbar, namun pengalaman masa lalu menunjukkan pola yang sama. “Belajar dari bencana sebelumnya, pemulihan hampir selalu diikuti kasus korupsi,” ujarnya.
Bahkan saat ini, Ombudsman masih memverifikasi laporan di Kabupaten Agam, di mana bantuan Presiden yang telah diserahkan secara simbolis disebut belum diterima masyarakat hingga kini. “Ini sedang kami verifikasi. Kalau pemerintah sudah bilang semua akan dibantu, maka pendataannya harus clear sejak awal. Jangan ada ruang abu-abu,” kata Adel.
Adel berpesan, bencana ekologis yang melanda Sumbar, justru harus momentum untuk merevisi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sumbar yang sebelumnya telah ramai dikritik elemen masyarakat sipil sejak satu tahun terakhir. Apalagi, pascabencana kondisi geografis dan lingkungan Sumbar telah berubah. “Kalau difoto satelit, jelas kelihatan. RTRW harus menyesuaikan dinamika pascabencana,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya pelibatan masyarakat sipil dalam proses tersebut. Pemerintah dalam hal ini tidak boleh alergi kritik dan partisipasi publik. “Kalau pemerintah merasa tidak boleh dikritik, itu bahaya. Kebijakan publik harus membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya,” tutur Adel. (














