Solusi Berbasis Alam
Di tengah kecenderungan pemerintah membangun infrastruktur teknis seperti sabo dam dan normalisasi sungai, para pakar menilai pendekatan tersebut tak lagi cukup jika berdiri sendiri. Pakar Kebencanaan UNP, Prof. Pakhrur Razi menyebut, intensitas hujan ekstrem akibat perubahan iklim global membuat kapasitas infrastruktur keras seringkali terlampaui.
“Curah hujan ekstrem dalam durasi singkat membuat tanah cepat jenuh dan lereng yang secara geomorfologi sudah tua menjadi sangat labil. Ketika air membawa sedimen, lumpur, dan kayu dalam volume besar, daya tampung sungai otomatis runtuh,” ujarnya.
Menurutnya, solusi teknis masih relevan, tetapi harus dikombinasikan secara serius dengan nature-based solutions, seperti restorasi hutan hulu, pemulihan sempadan sungai, dan moratorium konversi lahan.
“Kayu gelondongan berukuran besar di aliran banjir bandang adalah indikator kuat rusaknya vegetasi hulu. Material ini menjadi pelipat ganda bencana, karena menyumbat jembatan dan memicu backwater flooding. Artinya, pendekatan struktural saja tidak cukup tanpa pemulihan ekosistem,” katanya.
Relokasi Zona Merah
Prof. Eri mengatakan, salah satu persoalan paling krusial adalah banyaknya pemukiman warga yang berada di zona merah bencana. Relokasi kerap terkendala faktor ekonomi, budaya, dan keterbatasan lahan.
Akan tetapi, ia menilai bahwa pilihan ini semakin tidak terelakkan. Bagaimanapun, perubahan alur sungai pascabencana harus menjadi dasar utama dalam rekonstruksi wilayah terdampak.














