“Air selalu mencari tempat yang rendah. Setelah banjir bandang, kita tidak bisa lagi berpura-pura bahwa kondisi akan kembali normal. Relokasi dari zona merah bukan hanya sekadar opsi, melainkan suatu keharusan jika kita ingin menyelamatkan nyawa,” ujarnya.
Ia menilai strategi adaptasi realistis harus mencakup relokasi bertahap, penyediaan hunian aman berbasis mata pencaharian baru, serta pendampingan sosial yang berkelanjutan agar warga tidak kembali ke zona bahaya.
Prof. Pakhrur menambahkan, jika relokasi penuh tidak memungkinkan, maka mitigasi berbasis komunitas harus diperkuat. Adaptasi di zona berisiko tinggi harus melibatkan sistem peringatan dini yang benar-benar dipahami masyarakat, jalur evakuasi yang jelas, serta pembatasan ketat pembangunan baru. “Tinggal di zona bahaya tanpa mitigasi hanya memperbesar potensi korban,” katanya.
Transformasi Tata Ruang
Sebagai wilayah dengan hampir seluruh jenis bencana, mulai dari gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir bandang, hingga longsor, Sumbar kerap dijuluki “supermarket bencana”. Namun, kebijakan tata ruang di Sumbar belum sepenuhnya mencerminkan realitas tersebut.
Prof. Eri menilai, meskipun regulasi sudah tersedia, tetapi implementasi kebijakannya masih rendah. “Kajian lingkungan hidup strategis banyak yang berhenti sebagai dokumen. Dulu ada tim rutin memonitor lapangan. Sekarang semua dibatasi atas nama efisiensi, padahal inilah yang membuat bentang alam berubah tanpa kendali,” ujarnya.
Sementara, Prof. Pakhrur menilai momentum pascabencana seharusnya digunakan untuk melakukan transformasi tata ruang secara menyeluruh.














