Kini saatnya bukan hanya berbicara tentang perbaikan, tetapi tentang taubat ekologis. Taubat untuk setiap pohon yang ditebang tanpa rasa iba.Taubat untuk setiap sungai yang dijadikan tempat pelampiasan sampah. Taubat untuk tanah yang dilukai tanpa memikirkan generasi yang akan datang. Taubat atas kelalaian panjang yang kini menampakkan wajahnya dalam bentuk bencana.
Taubat ekologis adalah janji perbuatan: menanam kembali yang hilang, menjaga yang tersisa, dan memulihkan yang telah rusak. Sebab menjaga bumi adalah bagian dari ibadah; merusaknya adalah pengkhianatan terhadap amanah Allah.
Bumi tidak menangis karena benci. Ia menangis karena kita lupa mencintainya. Taubat ekologis menuntut kejujuran untuk mengakui bahwa selama ini kita lebih banyak mengambil daripada merawat. Kita terbiasa meminta alam memberi tanpa pernah bertanya apakah ia masih sanggup menanggungnya. Padahal, setiap pengambilan yang tidak disertai tanggung jawab adalah utang yang kelak harus dibayar dan bencana sering kali menjadi cara alam menagihnya.
Galodo yang datang tiba-tiba sejatinya adalah akumulasi dari kelalaian yang berlangsung lama. Ia bukan suara alam yang marah, tetapi isyarat bahwa keseimbangan telah lama terganggu. Ketika manusia menutup mata terhadap tanda-tanda kecil, alam terpaksa berbicara dengan bahasa yang lebih keras.
Masih ada ruang untuk memperbaiki hubungan yang retak ini. Selama manusia bersedia menurunkan ego, menghentikan keserakahan, dan kembali memposisikan diri sebagai penjaga, bukan penguasa.
Menanam kembali yang hilang, merawat yang tersisa, dan menghormati batas alam adalah jalan pulang yang masih terbuka.Sebab bumi tidak pernah meminta kita menjadi sempurna. (*)










