Oleh:
Otong Rosadi
Dosen Filsafat Hukum dan Politik Hukum Universitas Ekasakti
Sumatera, dari mulai Aceh hingga Lampung adalah wilayah Nusantara yang memiliki bentang alam sangat dinamis. Nusantara kita yang indah memesona ini, posisinya berada di pertemuan tiga lempeng tektonik utama (Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik). Ini pula yang menjadi “cincin api” vulkanik dengan gunung berapi terus aktif, palung laut dalam, serta berbagai kepulauan yang terbentuk oleh aktivitas geologi terus-menerus.
Kondisi ini juga yang mendorong siklus air (siklus hidrologi) juga dinamis, apalagi jika terdapat perubahan bentang alam. Inilah jawaban atas mengapa gempa bumi, tsunami, banjir bandang, dan bencana hidrometeorologis datang silih berganti, yang tidak jarang meninggalkan luka panjang (trauma), karena bencana.
Di tengah bencana itu, ada kelompok yang paling rentan sekaligus paling sering terlupakan: anak-anak, lansia, dan perempuan. Mereka mengalami guncangan paling dalam, kehilangan rasa aman, kehilangan lingkungan belajar, bahkan kehilangan orientasi hidup. Di negeri rawan bencana, mempersiapkan kelompok rentan, terutama anak yang tangguh bukan pilihan, melainkan keharusan konstitusional.
Hak anak ditegaskan secara eksplisit dalam pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ketentuan ini diperjelas dalam UU Perlindungan Anak (UU Nomor 23 Tahun 2002 Jo. UU Nomor 35 Tahun 2014) yang mencakup hak atas identitas, kesehatan, pendidikan, ibadah, bermain, serta perlindungan sosial dan hukum dari orang tua, masyarakat, dan negara.
Perlindungan atas seluruh hak tersebut tidak hanya menjaga anak tetap hidup pada saat bencana terjadi, tetapi memastikan mereka tetap dapat tumbuh, belajar, dan memaknai dunia yang mendadak berubah. Di sinilah tantangan kebijakan negara sesungguhnya: menghadirkan perlindungan yang nyata, bukan sekadar normatif.
Kita seringkali “gagap”, saat bencana tiba. Bencana alam di tiga provinsi Sumatera telah menimbulkan besarnya kerugian. Kehilangan jiwa 1.090 orang meninggal dan 186 orang hilang (hingga 22 Desember 2025). Kerugian ekonomi, psikogis, sosial, terlebih lagi kerugian ekologis. Jumlah warga yang mengungsi lebih 1 juta penduduk dan angka ini boleh jadi meningkat dua tiga kali jika dikaitkan dengan rusaknya infrastruktr sekolah, kesehatan, sanitasi, dan penyeddian energi air dan listrik. Pada angka-angka ini tentu saja “anak-anak” adalah makhluk yang paling menderita pada masa bencana.
Sejumlah anak kehilangan nyawa, anak yang lainnya tidak mendapat asupan gizi sesuai kebutuhan. Anak-anak kehilangan kesempatan menikmati haknya untuk bermain, karena hilangnya ruang bermain, sebagian terpisah dari keluarga, dari teman sepermainan. Serta untuk masa yang agak panjang, anak-anak akan mendapatkan sekolah, madrasah, dan pesantrennya rusak. Sungguh anak-anak di tengah bencana inilah korban yang paling merasakan kerusakan.
Selain Indonesia, Jepang juga negera dengan risiko bencana geologis tertinggi di dunia. Jepang sekaligus juga menjadi contoh baik dalam membangun masyarakat yang siap menghadapi krisis. Anak-anak Jepang dibesarkan dalam kultur kesiapsiagaan. Sejak usia sekolah dasar, mereka menjalani latihan evakuasi secara berkala, mempelajari peta risiko wilayah mereka, memahami jalur aman, hingga mengenal suara sirene.
Pendidikan kebencanaan bukan kegiatan seremonial, melainkan bagian dari kurikulum. Setiap sekolah memiliki helm keselamatan, ransum darurat, serta prosedur evakuasi yang sudah mengakar. Ketika gempa besar Tohoku 2011 terjadi, banyak saksi mencatat bagaimana anak-anak bergerak teratur mengikuti arahan guru, tanpa kepanikan, sebuah gambaran bagaimana ketangguhan dapat dibentuk melalui pendidikan sejak dini.
Bahkan Oktober 2025 lalu, setelah 14 tahun sejak Gempa Bumi 9,0 skala richter dan tsunami pada 11 Maret 2011, tulang-belulang anak korban bernama Natsuse Yamane ditemukan cocok dengan DNA kedua orang tuanya. Ini menunjukkan kesiapsiagaan Pemerintah Jepang menghadapi bencana sebesar apapun.
Kontras dengan itu, banyak anak Indonesia menghadapi bencana dengan minim informasi dan tanpa pembiasaan. Ketika sekolah porak-poranda dan ruang kelas berubah menjadi pos pengungsian, anak kehilangan struktur hidup yang selama ini memberi rasa aman. Di tempat pengungsian, kebutuhan mereka kerap terpinggirkan oleh prioritas logistik umum.
Ruang ramah anak, layanan psikososial, makanan dan obat khusus anak, hingga mekanisme reunifikasi keluarga sering kali muncul terlambat. Padahal ketangguhan anak tidak hanya bergantung pada fisik, tetapi juga pada kemampuan anak-anak memahami situasi yang terjadi dan memproses pengalaman menghadapinya, secara sehat sesuai usianya.
Belajar dari bencana sebelumya, termasuk bencana yang secara bersamaan terjadi di Sumatera. Pendidikan kebencanaan mestinya menjadi fondasi untuk membangun anak tangguh. Anak-anak perlu dikenalkan pada risiko dari bencana, diajarkan bagaimana anak-anak harus bereaksi ketika alam berubah, dan dibiasakan melakukan simulasi secara rutin.
Di tingkat sekolah, program Satuan Pendidikan Aman Bencana harus sungguh-sungguh dihidupkan, bukan sekadar kegiatan tahunan untuk memenuhi administrasi. Sekolah perlu meniru ketelatenan sekolah-sekolah di Jepang: ruang aman yang jelas, jalur evakuasi yang dipasang permanen, dan interaksi pedagogis yang membangun keberanian (ketangguhan).
Pada level keluarga, pola komunikasi menjadi benteng pertama ketangguhan. Orang tua harus lebih mampu mengarahkan anak, menjelaskan apa yang terjadi, dan memberikan rasa aman. Komunitas perumahan, rukun tetangga, rukun warga, desa/kelurahan, atau nama lain seperti nagari di Sumatera Barat dapat berfungsi sebagai pusat pemulihan anak akan mempercepat proses bangkitnya mental anak pascabencana.
Di atas semuanya itu, negara tetap haruslah ditempatkan sebagai yang memikul tanggung jawab utama. Karena selain terdapat UU Nomor Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menjadi payung hukum penanggulangan bencana, termasuk perlindungan anak.
Indonesia juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak sebagai pelaksaan pasal 7lC Undang-UnUUdang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Peraturan pemerintah ini mengatur mengenai Anak dalam situasi darurat, yaitu terhadap anak-anak yang berada dalam situasi lingkungan yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan anak yang disebabkan, baik oleh faktor alam, nonalam, dan/atau sosial.
Pasal 5 PP mengamanahkan perlindungan khusus anak harus diberikan dalam bentuk perawatan, pengasuhan, serta pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan khusus anak sesuai dengan tingkat usia dan perkembangannya. Artinya, negara harus memberikan perlindungan khusus bagi anak dalam situasi darurat, termasuk dukungan psikologis awal (DPA) dan trauma healing.
Kesiapan menghadapi bencana tidak boleh berhenti pada telah adanya setumpuk pengaturan, tersusunya dokumen rencana kontinjensi atau pembagian kerja teknis. Pada sistem penanggunggulangan kebencanaan, cara pandang terhadap anak harus diposisikan sebagai komponen penting dalam seluruh tahapan dalam penanggulangan kebencanaan: dari dari mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, hingga rehabilitasi.
Anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT) harus memastikan adanya alokasi untuk kebutuhan khusus anak. Pada masa darurat, anak harus menjadi prioritas dalam evakuasi, perlindungan kesehatan, dan layanan psikososial. Dan yang paling penting: sarana belajar, tempat ibadah, dan ruang bermain harus segera dipulihkan agar proses belajar dan bermain tidak terhenti.
Membangun anak tangguh bencana merupakan investasi jangka panjang bagi masa depan. Jepang menunjukkan bahwa ketangguhan tidak sekadar retorika, tetapi dari pembiasaan, keseriusan kebijakan, dan budaya gotong royong yang terus hidup hingga ke unit terkecil masyarakat.
Solidaritas masyarakat Indonesia di tengah bencana adalah modal sosial yang kuat untuk melakukan hal serupa. Yang dibutuhkan adalah kekonsistenan untuk menempatkan anak sebagai pusat perhatian, bukan pinggiran. Pada akhirnya, membangun ketangguhan anak adalah membangun ketangguhan bangsa. Dan di negeri yang dikepung ancaman alam, tidak ada pekerjaan yang lebih mendesak selain memastikan anak-anak kita siap menghadapi bencana alam, bukan dengan ketakutan, tetapi dengan pengetahuan, kesiapan, dan keberanian. Inilah makna tangguh yang sesungguhnya. (*)











