PADANG, HALUAN – Pakar Geologi dan kegempaan yang juga Akademisi di Universitas Negeri Padang (UNP), Pakhrur Razi, Ph.D mengatakan rangkaian banjir, galodo, dan longsor yang melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh dalam tiga minggu terakhir harus dibaca sebagai sinyal keras bahwa risiko bencana hidrometeorologi di Sumatera telah memasuki fase yang semakin sistemik.
“Ini bukan semata akibat hujan ekstrem, melainkan hasil akumulasi panjang dari kerusakan daerah tangkapan air, alih fungsi lahan yang agresif, lemahnya tata ruang, serta kegagalan menjadikan peta risiko sebagai dasar pembangunan,” ujar Pakhrur, Kamis (18/12).
Banjir bandang dan longsor adalah “bencana cepat” yang mematikan. Hal itu karena energi air dan materialnya tinggi, sehingga korban jiwa sering kali terjadi sebelum masyarakat sempat bereaksi.
Lebih lanjut dikatakan guru besar UNP yang dulunya pernah menamatkan S3 di Chiba University Japan ini bahwa pendekatan reaktif datang setelah bencana sudah tidak relevan lagi.
Menurut Pakhrur, mitigasi yang tepat untuk Sumatera Barat harus dimulai dari hulu, bukan hanya di wilayah yang terdampak langsung.
“Daerah pegunungan Bukit Barisan yang menjadi sumber air sungai-sungai besar mengalami tekanan berat akibat pembukaan lahan, jalan, dan permukiman yang mengabaikan daya dukung lingkungan,” tuturnya.
Rehabilitasi hutan dan DAS harus menjadi prioritas nyata, bukan sekadar proyek simbolik, dengan target yang terukur dan pengawasan ketat.
Di sisi hilir, penataan sungai, pengendalian sedimentasi, dan perlindungan sempadan sungai wajib ditegakkan tanpa kompromi. Yang tidak kalah penting, sistem peringatan dini berbasis hujan ekstrem, debit sungai, dan potensi longsor harus dioperasionalkan hingga tingkat nagari, lengkap dengan prosedur evakuasi yang jelas.
Tanpa kombinasi antara mitigasi struktural dan nonstruktural, korban jiwa akan terus berulang setiap musim hujan ekstrem.
Para pakar atau ahli diminta untuk mendorong pemerintah tidak cukup hanya melalui kajian akademik dan seminar. Para ahli harus bersikap lebih tegas, bahkan kritis, dengan menyuarakan risiko secara terbuka kepada publik dan pengambil kebijakan.
“Tekanan ilmiah perlu diterjemahkan menjadi tekanan moral dan politik, misalnya dengan menunjukkan secara jelas konsekuensi jika rekomendasi teknis diabaikan,” sebut Pakhrur.
Pemerintah daerah harus didorong untuk menjadikan peta rawan banjir dan longsor sebagai dokumen “mengikat”, bukan sekadar pelengkap rencana tata ruang.
Anggaran mitigasi juga harus diperlakukan sebagai investasi keselamatan, bukan biaya yang mudah dipangkas.
Di sinilah peran pakar sebagai risk communicator menjadi krusial: menjembatani sains dengan kebijakan dan kepentingan publik.
Dari perspektif iklim dan cuaca, bahwa ancaman ke depan tidak akan mereda. Anomali iklim global, pemanasan suhu permukaan laut di sekitar Samudra Hindia, serta potensi pembentukan siklon tropis di wilayah selatan Indonesia meningkatkan peluang hujan ekstrem yang lebih sering dan lebih intens.
Siklus basah-kering yang semakin tidak menentu membuat tanah di wilayah pegunungan mudah jenuh air, sehingga sedikit pemicu saja dapat memicu longsor besar. Artinya, kejadian dalam tiga minggu terakhir sangat mungkin bukan peristiwa luar biasa terakhir, melainkan bagian dari pola baru yang harus diantisipasi secara permanen. Menganggapnya sebagai bencana musiman biasa adalah kekeliruan fatal.
Bagi warga yang tinggal di zona merah banjir bandang dan longsor, solusi terbaik secara ilmiah sering kali tidak populer secara sosial, yaitu relokasi permanen ke tempat yang lebih aman.
“Adaptasi lokal seperti meninggikan rumah atau membuat tanggul darurat tidak efektif menghadapi energi banjir bandang dan runtuhan material longsor. titik,” kata dia.
Relokasi harus dirancang secara manusiawi, dengan jaminan akses ekonomi, sosial, dan layanan dasar agar tidak menimbulkan kemiskinan baru.
Dalam jangka pendek, warga di zona merah perlu dilibatkan dalam sistem pemantauan berbasis komunitas, dilengkapi jalur evakuasi yang jelas dan latihan rutin. Namun dalam jangka panjang, keberanian politik untuk memindahkan permukiman dari wilayah yang secara geologi dan hidrologi tidak layak huni adalah satu-satunya jalan rasional.
“Pada akhirnya, bencana di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh adalah cermin dari pilihan pembangunan kita sendiri. Alam hanya bereaksi terhadap apa yang kita lakukan terhadapnya. Jika mitigasi tetap dipahami sebagai respons darurat, maka korban akan terus berjatuhan,” ucapnya.
Sebaliknya, jika pemerintah, pakar, dan masyarakat bersepakat menjadikan pengurangan risiko bencana sebagai fondasi pembangunan, maka tragedi serupa dapat dikurangi secara signifikan. Bencana bukan takdir yang tak bisa diubah; yang sering kali tak berubah adalah cara kita mengelola risiko sebelum bencana itu datang. (h/yes)














