Oleh:
Ronny P. Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution
Pada 16 Desember, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato di hadapan para kepala daerah Papua dan jajaran lembaga percepatan Otonomi Khusus. Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menyampaikan pesan yang lugas sekaligus strategis di mana Papua harus didorong menjadi wilayah pengembangan perkebunan kelapa sawit, bersama tebu dan singkong, sebagai bagian dari agenda besar ketahanan energi dan pangan nasional. Sawit ditempatkan bukan lagi sekadar komoditas ekspor, melainkan bahan baku utama biodiesel dan bioenergi untuk mengurangi impor BBM dan menekan beban subsidi negara.
Bagi Prabowo, kebijakan tersebut merupakan kebutuhan yang mendesak. Indonesia dinilai terlalu rentan terhadap gejolak energi global. Ketahanan energi, menurutnya, adalah bagian dari kedaulatan nasional. Papua, dengan wilayah luas dan tingkat industrialisasi yang masih rendah, dipandang sebagai ruang strategis yang belum dimanfaatkan secara optimal. Dengan membuka investasi perkebunan skala besar, negara berharap akan tercipta lapangan kerja, infrastruktur, serta percepatan pembangunan ekonomi di wilayah yang selama ini masih sangat tertinggal.
Secara makro, argumen tersebut terdengar cukup rasional. Indonesia memang menghadapi tekanan fiskal, defisit neraca energi, dan tuntutan swasembada energi. Namun persoalan Papua sedari dulu tidak pernah sesederhana kalkulasi ekonomi Jakarta. Papua bukan ruang kosong dalam peta pembangunan, melainkan wilayah dengan sejarah panjang marginalisasi, konflik politik, dan sistem budaya yang selama ini kurang sepenuhnya dihargai oleh negara.
Oleh karena itu, pidato Prabowo tidak bisa dibaca hanya sebagai rencana teknokratis. Pidato tersebut adalah pernyataan politik tentang bagaimana negara kembali memandang Papua sebagai salah solusi bagi masalah nasional, tapi terkesan dengan kacamata eksploitatif. Namun pertanyaannya kemudian bukan sekadar apakah sawit dibutuhkan Indonesia, melainkan siapa yang akan menanggung risikonya dan siapa yang akan memetik keuntungannya.
Rasionalitas dan Moralitas
Dari sudut pandang ekonomi politik, ekspansi sawit di Papua mengandung beberapa ilusi mendasar. Ilusi pertama adalah efisiensi. Sawit memang tanaman dengan produktivitas tinggi secara global, tetapi Papua memiliki karakter geografis, sosial, dan politik yang berbeda dari Sumatera atau Kalimantan. Biaya logistik cukup mahal, infrastruktur masih terbatas, dan konflik lahan masih kronis yang membuat banyak proyek berjalan jauh di bawah proyeksi awal. Dalam praktiknya, sejarah sawit di Papua lebih sering diwarnai oleh konsesi yang mangkrak, hutan yang tercederai, dan perusahaan yang hengkang tanpa pemulihan lingkungan.
Ilusi kedua adalah penciptaan nilai tambah lokal. Negara kerap menjanjikan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi untuk daerah. Namun, struktur industri sawit menunjukkan bahwa kendali rantai produksi, mulai dari pembiayaan, pengolahan, hingga pemasaran, tetap berada di tangan korporasi besar yang berjejaring dengan elite nasional. Masyarakat Papua, jika dilibatkan, umumnya masuk sebagai buruh kasar dengan posisi tawar rendah. Alih-alih menjadi subjek pembangunan, mereka menjadi bagian dari mesin ekstraksi. Dengan kata lain, ini bukan soal transformasi ekonomi, tapi soal reproduksi ketimpangan dalam format baru.
Ilusi ketiga adalah keuntungan fiskal jangka panjang. Kerusakan ekologis, konflik sosial, dan hilangnya sumber pangan lokal akan menuntut biaya pemulihan justru semakin besar. Negara boleh menghemat devisa dari biodiesel, tetapi pada saat yang sama berisiko meningkatkan beban anggaran untuk penanganan bencana, kesehatan masyarakat, dan stabilitas keamanan. Dalam perhitungan jangka panjang, manfaat ekonomi sawit di Papua jauh dari pasti, sementara risikonya sudah hampir pasti sangat nyata.
Lebih dari itu, sawit di Papua selama ini tidak pernah netral secara politik. Penolakan masyarakat terhadap ekspansi perkebunan bukanlah penolakan terhadap pembangunan, melainkan ekspresi ketidakpercayaan yang telah lama terakumulasi terhadap Jakarta. Proyek-proyek besar di Papua sering hadir sebagai keputusan sepihak di mana peta konsesi ditarik dari udara, izin diterbitkan di pusat, sementara masyarakat adat baru diberi tahu setelah alat berat datang.
Dalam konteks ini, pidato Prabowo mudah dibaca sebagai kelanjutan pola lama. Papua kembali diposisikan sebagai objek kebijakan nasional. Sawit bukan hanya tanaman industri, tetapi simbol kehadiran negara yang menancapkan kepentingannya tanpa menyelesaikan persoalan politik mendasar, yakni pengakuan, keadilan, dan partisipasi yang setara.
Sawit, Budaya, dan Bayang-Bayang Kekuasaan
Kritik paling tajam justru muncul ketika kita melihat persoalan ini dari sisi budaya dan pengalaman hidup masyarakat Papua. Antropolog Sophie Chao, dalam bukunya In the Shadow of the Palms. More-Than-Human Becomings in West Papua (2023), menunjukkan bahwa bagi masyarakat Marind di Papua, sawit bukan sekadar komoditas ekonomi. Sawit hadir sebagai entitas asing yang mengubah relasi mendasar antara manusia, hutan, dan makhluk hidup lain di tanah Papua. Sawit tidak hanya mengubah lanskap fisik, tetapi juga lanskap sosial dan batin masyarakat, katanya.
Kajian Chao sangat berhasil memperlihatkan kontras yang kuat antara sawit dan sagu. Sagu adalah pohon kehidupan, yakni sumber pangan, simbol identitas, dan bagian dari kosmologi yang menghubungkan manusia dengan leluhur serta alam sekitarnya di Marind. Sawit datang sebagai monocrop yang menyingkirkan sagu, memutus relasi ekologis yang telah terjalin lintas generasi. Dalam proses ini, yang hilang bukan hanya pohon, tetapi cara hidup.
Kekerasan yang dihadirkan sawit jarang berbentuk kekerasan terbuka. Ia bekerja secara sunyi dan administratif: melalui kontrak yang tidak sepenuhnya dipahami, melalui pagar kebun yang membatasi akses, melalui perubahan lanskap yang membuat berburu, meramu, dan bertani tradisional menjadi mustahil. Chao mencatat bagaimana sawit bahkan masuk ke dalam mimpi dan kecemasan masyarakat, menjadi simbol ketakutan akan “dimakan” oleh sesuatu yang tidak mereka kendalikan.
Di sinilah pidato Prabowo terlihat keterbatasannya. Ketika negara berbicara tentang biodiesel, neraca energi, dan kedaulatan nasional, masyarakat Papua berbicara tentang tanah leluhur, hutan, dan masa depan anak-anak mereka. Dua bahasa ini terbukti tidak pernah benar-benar mampu dipertemukan selama ini. Negara menggunakan bahasa ekonomi dan keamanan, sementara masyarakat di sana hidup dalam bahasa relasi social-enviromental dan keberlanjutan.
Rencana menjadikan Papua sebagai basis ekspansi sawit pada akhirnya akan mengulang dilema klasik pembangunan Indonesia, yakni mengejar kepentingan nasional dengan mengorbankan kedaulatan lokal. Ketahanan energi memang penting, tetapi energi macam apa yang dibangun dengan merusak fondasi sosial dan budaya wilayah paling rentan di negeri ini?
Jika Papua kembali dijadikan ladang solusi bagi krisis nasional tanpa persetujuan penuh, tanpa kendali lokal, dan tanpa penghormatan terhadap kosmologi setempat, maka sawit bukan jawaban, melainkan masalah baru yang tertunda. Pembangunan sejati di Papua seharusnya dimulai dari pengakuan politik, keadilan ekonomi, dan penghormatan budaya, bukan dari perluasan kebun.
Tanpa itu semua, ambisi sawit Prabowo berisiko menjadi bab baru dalam sejarah panjang proyek nasional yang gagal memahami manusia di balik angka. Negara mungkin memperoleh energi dan statistik positif atas pertumbuhan, tetapi Papua akan kembali membayar harganya dengan kehilangan ruang hidup dan masa depan. (*)










