Senin, 29 Desember 2025
harianhaluan.id
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • UTAMA
  • EkBis
  • NASIONAL
  • OLAHRAGA
  • SUMBAR
    • AGAM
    • BUKITTINGGI
    • DHARMASRAYA
    • KAB. SOLOK
    • KOTA SOLOK
    • KAB. LIMAPULUH KOTA
    • MENTAWAI
    • PADANG
    • PADANG PANJANG
    • PADANG PARIAMAN
    • PARIAMAN
    • PASAMAN
    • PASAMAN BARAT
    • PAYAKUMBUH
    • PESISIR SELATAN
    • SAWAHLUNTO
    • SIJUNJUNG
    • SOLOK SELATAN
    • TANAH DATAR
  • OPINI
  • PENDIDIKAN
    • KAMPUS
      • INSTITUT TEKNOLOGI PADANG
      • POLITEKNIK ATI PADANG
      • POLITEKNIK NEGERI PADANG
    • SASTRA BUDAYA
  • PARIWISATA
  • WEBTORIAL
  • PILKADA SUMBAR
  • INSPIRASI
  • RAGAM
    • PERISTIWA
    • HIBURAN
    • KESEHATAN
    • LIFESTYLE
    • OTOMOTIF
    • RANAH & RANTAU
      • KABA RANAH
      • KABA RANTAU
    • PRAKIRAAN CUACA
  • UTAMA
  • EkBis
  • NASIONAL
  • OLAHRAGA
  • SUMBAR
    • AGAM
    • BUKITTINGGI
    • DHARMASRAYA
    • KAB. SOLOK
    • KOTA SOLOK
    • KAB. LIMAPULUH KOTA
    • MENTAWAI
    • PADANG
    • PADANG PANJANG
    • PADANG PARIAMAN
    • PARIAMAN
    • PASAMAN
    • PASAMAN BARAT
    • PAYAKUMBUH
    • PESISIR SELATAN
    • SAWAHLUNTO
    • SIJUNJUNG
    • SOLOK SELATAN
    • TANAH DATAR
  • OPINI
  • PENDIDIKAN
    • KAMPUS
      • INSTITUT TEKNOLOGI PADANG
      • POLITEKNIK ATI PADANG
      • POLITEKNIK NEGERI PADANG
    • SASTRA BUDAYA
  • PARIWISATA
  • WEBTORIAL
  • PILKADA SUMBAR
  • INSPIRASI
  • RAGAM
    • PERISTIWA
    • HIBURAN
    • KESEHATAN
    • LIFESTYLE
    • OTOMOTIF
    • RANAH & RANTAU
      • KABA RANAH
      • KABA RANTAU
    • PRAKIRAAN CUACA
harianhaluan.id
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • UTAMA
  • EkBis
  • NASIONAL
  • OLAHRAGA
  • SUMBAR
  • OPINI
  • PENDIDIKAN
  • PARIWISATA
  • WEBTORIAL
  • PILKADA SUMBAR
  • INSPIRASI
  • RAGAM
HOME OPINI

Ambisi Sawit Negara di Tanah Papua

Editor: Leni Marlina
Senin, 29/12/2025 | 15:56 WIB
ShareTweetSendShare

Oleh:

Ronny P. Sasmita

Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution

Pada 16 Desember, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato di hadapan para kepala daerah Papua dan jajaran lembaga percepatan Otonomi Khusus. Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menyampaikan pesan yang lugas sekaligus strategis di mana Papua harus didorong menjadi wilayah pengembangan perkebunan kelapa sawit, bersama tebu dan singkong, sebagai bagian dari agenda besar ketahanan energi dan pangan nasional. Sawit ditempatkan bukan lagi sekadar komoditas ekspor, melainkan bahan baku utama biodiesel dan bioenergi untuk mengurangi impor BBM dan menekan beban subsidi negara.

Bagi Prabowo, kebijakan tersebut merupakan kebutuhan yang mendesak. Indonesia dinilai terlalu rentan terhadap gejolak energi global. Ketahanan energi, menurutnya, adalah bagian dari kedaulatan nasional. Papua, dengan wilayah luas dan tingkat industrialisasi yang masih rendah, dipandang sebagai ruang strategis yang belum dimanfaatkan secara optimal. Dengan membuka investasi perkebunan skala besar, negara berharap akan tercipta lapangan kerja, infrastruktur, serta percepatan pembangunan ekonomi di wilayah yang selama ini masih sangat tertinggal.

Secara makro, argumen tersebut terdengar cukup rasional. Indonesia memang menghadapi tekanan fiskal, defisit neraca energi, dan tuntutan swasembada energi. Namun persoalan Papua sedari dulu tidak pernah sesederhana kalkulasi ekonomi Jakarta. Papua bukan ruang kosong dalam peta pembangunan, melainkan wilayah dengan sejarah panjang marginalisasi, konflik politik, dan sistem budaya yang selama ini kurang sepenuhnya dihargai oleh negara.

Oleh karena itu, pidato Prabowo tidak bisa dibaca hanya sebagai rencana teknokratis. Pidato tersebut adalah pernyataan politik tentang bagaimana negara kembali memandang Papua sebagai salah solusi bagi masalah nasional, tapi terkesan dengan kacamata eksploitatif. Namun pertanyaannya kemudian bukan sekadar apakah sawit dibutuhkan Indonesia, melainkan siapa yang akan menanggung risikonya dan siapa yang akan memetik keuntungannya.

Rasionalitas dan Moralitas

Dari sudut pandang ekonomi politik, ekspansi sawit di Papua mengandung beberapa ilusi mendasar. Ilusi pertama adalah efisiensi. Sawit memang tanaman dengan produktivitas tinggi secara global, tetapi Papua memiliki karakter geografis, sosial, dan politik yang berbeda dari Sumatera atau Kalimantan. Biaya logistik cukup mahal, infrastruktur masih terbatas, dan konflik lahan masih kronis yang membuat banyak proyek berjalan jauh di bawah proyeksi awal. Dalam praktiknya, sejarah sawit di Papua lebih sering diwarnai oleh konsesi yang mangkrak, hutan yang tercederai, dan perusahaan yang hengkang tanpa pemulihan lingkungan.

BACA JUGA  Tol: Jalan Penyelamat Sumbar dari Siklus Bencana dan Isolasi

Ilusi kedua adalah penciptaan nilai tambah lokal. Negara kerap menjanjikan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi untuk daerah. Namun, struktur industri sawit menunjukkan bahwa kendali rantai produksi, mulai dari pembiayaan, pengolahan, hingga pemasaran, tetap berada di tangan korporasi besar yang berjejaring dengan elite nasional. Masyarakat Papua, jika dilibatkan, umumnya masuk sebagai buruh kasar dengan posisi tawar rendah. Alih-alih menjadi subjek pembangunan, mereka menjadi bagian dari mesin ekstraksi. Dengan kata lain, ini bukan soal transformasi ekonomi, tapi soal reproduksi ketimpangan dalam format baru.

Ilusi ketiga adalah keuntungan fiskal jangka panjang. Kerusakan ekologis, konflik sosial, dan hilangnya sumber pangan lokal akan menuntut biaya pemulihan justru semakin besar. Negara boleh menghemat devisa dari biodiesel, tetapi pada saat yang sama berisiko meningkatkan beban anggaran untuk penanganan bencana, kesehatan masyarakat, dan stabilitas keamanan. Dalam perhitungan jangka panjang, manfaat ekonomi sawit di Papua jauh dari pasti, sementara risikonya sudah hampir pasti sangat nyata.

Lebih dari itu, sawit di Papua selama ini tidak pernah netral secara politik. Penolakan masyarakat terhadap ekspansi perkebunan bukanlah penolakan terhadap pembangunan, melainkan ekspresi ketidakpercayaan yang telah lama terakumulasi terhadap Jakarta. Proyek-proyek besar di Papua sering hadir sebagai keputusan sepihak di mana peta konsesi ditarik dari udara, izin diterbitkan di pusat, sementara masyarakat adat baru diberi tahu setelah alat berat datang.

Dalam konteks ini, pidato Prabowo mudah dibaca sebagai kelanjutan pola lama. Papua kembali diposisikan sebagai objek kebijakan nasional. Sawit bukan hanya tanaman industri, tetapi simbol kehadiran negara yang menancapkan kepentingannya tanpa menyelesaikan persoalan politik mendasar, yakni pengakuan, keadilan, dan partisipasi yang setara.

Sawit, Budaya, dan Bayang-Bayang Kekuasaan

Kritik paling tajam justru muncul ketika kita melihat persoalan ini dari sisi budaya dan pengalaman hidup masyarakat Papua. Antropolog Sophie Chao, dalam bukunya In the Shadow of the Palms. More-Than-Human Becomings in West Papua (2023), menunjukkan bahwa bagi masyarakat Marind di Papua, sawit bukan sekadar komoditas ekonomi. Sawit hadir sebagai entitas asing yang mengubah relasi mendasar antara manusia, hutan, dan makhluk hidup lain di tanah Papua. Sawit tidak hanya mengubah lanskap fisik, tetapi juga lanskap sosial dan batin masyarakat, katanya.

BACA JUGA  Tradisi Mandarahi Rumah di Nagari Matua Mudiak

Kajian Chao sangat berhasil memperlihatkan kontras yang kuat antara sawit dan sagu. Sagu adalah pohon kehidupan, yakni sumber pangan, simbol identitas, dan bagian dari kosmologi yang menghubungkan manusia dengan leluhur serta alam sekitarnya di Marind. Sawit datang sebagai monocrop yang menyingkirkan sagu, memutus relasi ekologis yang telah terjalin lintas generasi. Dalam proses ini, yang hilang bukan hanya pohon, tetapi cara hidup.

Kekerasan yang dihadirkan sawit jarang berbentuk kekerasan terbuka. Ia bekerja secara sunyi dan administratif: melalui kontrak yang tidak sepenuhnya dipahami, melalui pagar kebun yang membatasi akses, melalui perubahan lanskap yang membuat berburu, meramu, dan bertani tradisional menjadi mustahil. Chao mencatat bagaimana sawit bahkan masuk ke dalam mimpi dan kecemasan masyarakat, menjadi simbol ketakutan akan “dimakan” oleh sesuatu yang tidak mereka kendalikan.

Di sinilah pidato Prabowo terlihat keterbatasannya. Ketika negara berbicara tentang biodiesel, neraca energi, dan kedaulatan nasional, masyarakat Papua berbicara tentang tanah leluhur, hutan, dan masa depan anak-anak mereka. Dua bahasa ini terbukti tidak pernah benar-benar mampu dipertemukan selama ini. Negara menggunakan bahasa ekonomi dan keamanan, sementara masyarakat di sana hidup dalam bahasa relasi social-enviromental dan keberlanjutan.

Rencana menjadikan Papua sebagai basis ekspansi sawit pada akhirnya akan mengulang dilema klasik pembangunan Indonesia, yakni mengejar kepentingan nasional dengan mengorbankan kedaulatan lokal. Ketahanan energi memang penting, tetapi energi macam apa yang dibangun dengan merusak fondasi sosial dan budaya wilayah paling rentan di negeri ini?

Jika Papua kembali dijadikan ladang solusi bagi krisis nasional tanpa persetujuan penuh, tanpa kendali lokal, dan tanpa penghormatan terhadap kosmologi setempat, maka sawit bukan jawaban, melainkan masalah baru yang tertunda. Pembangunan sejati di Papua seharusnya dimulai dari pengakuan politik, keadilan ekonomi, dan penghormatan budaya, bukan dari perluasan kebun.

Tanpa itu semua, ambisi sawit Prabowo berisiko menjadi bab baru dalam sejarah panjang proyek nasional yang gagal memahami manusia di balik angka. Negara mungkin memperoleh energi dan statistik positif atas pertumbuhan, tetapi Papua akan kembali membayar harganya dengan kehilangan ruang hidup dan masa depan. (*)

Tags: Ambisi sawitTanah Papua
ShareTweetSendShare

BacaJuga

Belajar Mengolah Sampah Melalui Pendekatan Seni

Senin, 29/12/2025 | 08:25 WIB

Perawatan Pascaoperasi Katarak: Pantangan dan Aktivitas yang Harus Dihindari

Sabtu, 27/12/2025 | 10:34 WIB

Hukum Minum Obat yang Terbuat dari Bahan Najis

Jumat, 26/12/2025 | 20:23 WIB
Wakil Ketua DPRD Sumbar, Nanda Satria

Lima Prioritas Pemulihan Bencana Sumbar untuk Perputaran Roda Ekonomi di Daerah

Kamis, 25/12/2025 | 09:02 WIB

Membangun Anak Tangguh di Tengah Bencana

Rabu, 24/12/2025 | 15:32 WIB

PEMANFAATAN ARTIFICIAL INTELLIGENCE DALAM PEMBELAJARAN MODERN

Selasa, 23/12/2025 | 16:07 WIB

HALUANePaper

Digital Interaktif.

Edisi 1 Januari 1970

HALUANOPINI

OPINI

Ambisi Sawit Negara di Tanah Papua

Senin, 29/12/2025 | 15:56 WIB

SelengkapnyaDetails

Belajar Mengolah Sampah Melalui Pendekatan Seni

Senin, 29/12/2025 | 08:25 WIB

Perawatan Pascaoperasi Katarak: Pantangan dan Aktivitas yang Harus Dihindari

Sabtu, 27/12/2025 | 10:34 WIB

Hukum Minum Obat yang Terbuat dari Bahan Najis

Jumat, 26/12/2025 | 20:23 WIB
Wakil Ketua DPRD Sumbar, Nanda Satria

Lima Prioritas Pemulihan Bencana Sumbar untuk Perputaran Roda Ekonomi di Daerah

Kamis, 25/12/2025 | 09:02 WIB

HALUANTERPOPULER

  • Rusak Lingkungan, Rugikan Warga: DPRD Padang Desak Penindakan Tambang Ilegal di DAS Kuranji

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Siapkan Diri untuk Ikuti Tes CPNS 2026 dengan Peluang  Besar… Inilah Kementerian dan Lembaga yang Sepi Peminat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kabar Gembira untuk Karyawan… Upah Minimum Provinsi Sumbar Tahun 2026 Ditetapkan Rp3.182.955

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ‎Gotong Royong Bersama di Masjid Raya Lubuk Beras, Wujud Kepedulian Cegah Erosi Sungai Batang Mangoe

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Upaya Perdamaian Ditolak Mediator, Penyelesaian Sengketa Lingkungan di PN Painan Buntu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
harianhaluan.id

Kantor Redaksi dan Bisnis:
Jln. Prof Hamka (Komp. Bandara Tabing - Lanud St. Syarir) - Kota Padang - Sumatera Barat (25171)

  [email protected]

  Redaksi: 08126888210 (Nasrizal)
  Iklan: 081270864370 (Andri Yusran)

Instagram Harianhaluan Post

  • Telah hilang seorang pemuda bernama Ryan Al Ghifari, usia 21 tahun, berstatus Mahasiswa Universitas Andalas, Fakultas Teknologi Informasi (Informatika), BP 2022.

Yang bersangkutan pergi atau menghilang dari rumah sejak tanggal 17 November 2025 hingga hari ini. Terakhir diketahui berada di sekitar rumah pada pukul 02.00 WIB dini hari pada tanggal tersebut. Saat pergi, tidak membawa identitas diri seperti KTP, handphone, maupun barang penting lainnya.

Hingga saat ini, keberadaan Ryan Al Ghifari belum diketahui. Pihak keluarga sangat mengharapkan bantuan dari masyarakat.

Apabila melihat atau mengetahui informasi mengenai keberadaan yang bersangkutan, mohon segera menghubungi pihak keluarga atau aparat terdekat. Atas perhatian dan bantuannya, kami ucapkan terima kasih.
  • Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menargetkan penyusunan dokumen Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana (R3P) Sumatera Barat (Sumbar) bisa selesai awal Januari 2026 mendatang. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota diharapkan mempercepat dokumen tersebut, sehingga proses pemulihan pascabencana tidak akan berlarut-larut.

Selengkapnya di koran Haluan hari ini.

Follow Us

  • Indeks Berita
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy

HarianHaluan.id © 2025.

Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • UTAMA
  • EkBis
  • NASIONAL
  • OLAHRAGA
  • SUMBAR
    • AGAM
    • BUKITTINGGI
    • DHARMASRAYA
    • KAB. SOLOK
    • KOTA SOLOK
    • KAB. LIMAPULUH KOTA
    • MENTAWAI
    • PADANG
    • PADANG PANJANG
    • PADANG PARIAMAN
    • PARIAMAN
    • PASAMAN
    • PASAMAN BARAT
    • PAYAKUMBUH
    • PESISIR SELATAN
    • SAWAHLUNTO
    • SIJUNJUNG
    • SOLOK SELATAN
    • TANAH DATAR
  • OPINI
  • PENDIDIKAN
    • KAMPUS
      • INSTITUT TEKNOLOGI PADANG
      • POLITEKNIK ATI PADANG
      • POLITEKNIK NEGERI PADANG
    • SASTRA BUDAYA
  • PARIWISATA
  • WEBTORIAL
  • PILKADA SUMBAR
  • INSPIRASI
  • RAGAM
    • PERISTIWA
    • HIBURAN
    • KESEHATAN
    • LIFESTYLE
    • OTOMOTIF
    • RANAH & RANTAU
      • KABA RANAH
      • KABA RANTAU
    • PRAKIRAAN CUACA

HarianHaluan.id © 2025.