JAKARTA, HARIANHALUAN.ID – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Dr. Suharyanto S.Sos., M.M., berharap lembaga penanganan bencana yang ada di daerah, yang dalam hal ini adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dapat memiliki kewenangan penuh dalam mengantisipasi potensi bencana di momentum Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru).
Berangkat dari hasil pengamatan lapangan ketika terjadi bencana, Kepala BNPB melihat masih ada kesan bahwa BPBD belum memaksimalkan kewenangan dan kekuatan dalam menjalankan tupoksinya sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
“Hasil pengamatan di lapangan, masih banyak di tingkat kabupaten/kota, terkesan BPBD belum tangguh belum kuat. Memang itu yang harus kita sadari bersama. Kami menyarankan, kedepan, barangkali salah satunya adalah meningkatkan kemampuan BPBD,” ujar Suharyanto dalam Rapat Koordinasi Apel Kesiapsiagaan Bencana Hidrometeorologi Basah melalui daring pada hari ini, Senin (29/12).
Di samping itu, Kepala BNPB juga menggaris bawahi bahwa fenomena tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti bahwa pucuk pimpinan BPBD masih berstatus pelaksana tugas yang melekat dengan fungsi jabatan pemangku kepentingan di daerah seperti sekretaris daerah. Kepala BNPB menilai bahwa status pelaksana tugas ini hanya memiliki tanggung jawab, namun tidak memiliki kewenangan penuh.
“Kami berharap kepala BPBD itu bukan kepala pelaksana BPBD lagi, tidak dirangkap oleh sekretaris daerah. Tentu saja sekretaris daerah ini banyak beban tugas dan tanggung jawabnya. Kalau hanya kepala pelaksana tugas ini hanya punya tugas dan tanggung jawab tetapi tidak memiliki kewenangan,”
Siklon Tropis Senyar Pengaruhi Data Kejadian Bencana
Sebelumnya, Kepala BNPB menyampaikan bahwa data kejadian bencana dalam kurun waktu lima tahun terakhir antara 2022 sampai 2025, bersifat fluktuatif. Kendati jumlah kejadian berada di angka 3.000, namun BNPB terus berupaya menekan dampaknya.
Meskipun demikian, BNPB turut memperingatkan bahwa kejadian bencana yang dipicu oleh fenomena siklon tropis Senyar beberapa waktu lalu menyebabkan jumlah korban; baik yang meninggal dunia, luka maupun hilang berada di angka lebih dari 1.100 jiwa. Hal ini tentunya harus dijadikan pembelajaran sebagai antisipasi ke depannya oleh seluruh lingkup pemerintah daerah. Sebab, selain jumlah korban jiwa yang meningkat, angka kerugian juga bertambah.
“Lima tahun terakhir, dari tahun 2021-2025, jumlah kejadian bencana di Indonesia fluktuatif. 2022-2024 meskipun jumlah bencana di atas 3000 kejadian, BNPB berupaya menurunkan dampaknya,” ungkap Suharyanto.
“Ini sudah turun, tapi ketika 25-26 November 2025 terjadi Siklon Senyar, di tiga provinsi di Sumatra, tentunya grafik ini naik lagi. Karena bertambah 1.100 korban jiwa dan menelan biaya kerusakan puluhan triliun,” tambahnya.
Pencegahan dan Tantangannya
Menurut Suharyanto, beberapa kejadian bencana seharusnya dapat dicegah atau minimal ditekan dampaknya, namun apa yang ditimbulkan akibat adanya siklon tropis Senyar harus menjadi atensi penuh. Sebab, menurut data per hari ini, ada 3.176 kejadian yang secara garis besar adalah jenis bencana hidrometeorologi basah.
Hal ini sekaligus menandai bahwa dalam upaya menurunkan dampak bencana masih menjadi tantangan bersama, dan urusan bencana tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat saja. Perlu ada campur tangan dari berbagai pihak, baik pemerintah pusat, daerah, dunia usaha, komunitas hingga media masa.
“Untuk menurunkan dampak bencana tidak mudah. Karena terkadang terjadi bencana yang sifatnyanya secara tiba-tiba. Per hari ini ada 3.176 kejadian bencana yang didominasi oleh hidrometeorologi basah,” ungkap Suharyanto.
“Bahwa urusan bencana ini tidak bisa lagi hanya dilakukan oleh pemerintah pusat semata,” imbuhnya.
Mulai Teratasi Bukan Berarti Selesai
Bicara lebih lanjut mengenai perkembangan penanganan bencana yang disebabkan oleh siklon tropis Senyar di tiga provinsi, Kepala BNPB mengatakan bahwa hingga hari ini sudah ada lima kabupaten/kota yang mulai masuk fase transisi pemulihan menuju rehabilitasi dan rekonstruksi. Kendati demikian, Kepala BNPB tidak ingin bahwa hal ini menjadikan pemerintah daerah menurunkan kewaspadaan, sebab, potensi cuaca ke depan masih dapat berpotensi memicu kejadian bencana serupa.
“Meskipun kita sedang fokus tanggap darurat, bagi 43 kabupaten/kota di Sumatra. Sekarang sudah ada lima kabupaten/kota sudah masih ke masa transisi pemulihan ke rehabilitasi dan rekonstruksi,” ungkap Suharyanto.
“Mohon di daerah lain agar waspada,” lanjutnya.
Sebagai bentuk antisipasi bagi daerah lain, Kepala BNPB merekomendasikan agar seluruh komponen di daerah dapat melakukan mitigasi dan peningkatan kesiapsiagaan dengan berbagai upaya seperti misalnya; monitoring lapangan hingga apel kesiapsiagaan. Dua hal ini menjadi satu kesatuan yang tak boleh terpisah, sebab, kekuatan pada tiap-tiap daerah dapat terukur dari sinergi yang nyata.
“Segera mulai melihat kondisi di wilayah masing-masing. Kalau diperlukan melakukan apel dan pengecekan alat perangkat personel serta anggaran agar segera dilakukan,” pinta Suharyanto.
Di sisi lain, Kepala BNPB juga meminta kepada kepala daerah agar tidak ragu dalam menetapkan status siaga dan tanggap darurat bencana. Penetapan status ini bukan untuk dimaknai bahwa daerah tidak siap atau justru terlalu percaya diri, namun sebagai langkah konkret secara regulasi agar pemerintah pusat dan seluruh stakeholder dapat memberikan intervensi positif sebagai kekuatan tambahan.
“Penetapan status siaga dan tanggap darurat. Mohon ini tidak perlu overestimate. Karena pemrintah pusat bisa turun memberikan bantuan dan anggaran,” harap Suharyanto.
Kembali menyinggung pada bahasan di awal, Kepala BNPB berharap kepada BPBD agar tidak ragu untuk menjalankan tupoksinya sesuai undang-undang Penanggulangan Bencana. Bahwa BPBD harus menjadi koordinator, komando dan pelaksana di lapangan, membawahi seluruh stakeholder demi ketangguhan daerah. Dengan peran nyata tersebut, seluruh komponen daerah seperti TNI, Polri dan lembaga lainnya akan otomatis membantu dalam lingkup penanganan bencana.
“Kepada BPBD, meski mungkin masih pelaksana, kami mohon untuk tidak ragu mengambil kendali saat tanggap darurat. Unsur TNI dan Polri ini hanya membantu. Jika terjadi bencana, maka BPBD memegang kendali saat tanggap darurat,” tegas Kepala BNPB.
Peringatan Dini Diperkuat
Adapun bagian yang tak boleh dilupakan adalah peringatan dini demi peningkatan kesiapsiagaan masyarakat. Untuk hal ini secara khusus, Kepala BNPB memberikan arahan agar BPBD bersama stakeholder dapat memberikan fasilitas dan infrastuktur yang mudah dipahami masyarakat. Rambu dan peta risiko bencana adalah contoh sederhana yang harus diperkuat, sehingga jika terjadi tanda-tanda bencana, masyarakat dapat segera melakukan evakuasi secara mandiri dan tidak terdadak.
“Peta risiko. Jangan sekal lagi warga terdadak karena banjir dan banjir bandang. Mohon contohnya hujan deras lebih dari tiga jam, warga yang berada di lereng tebing harus diungsikan,” jelas Suharyanto.
Di samping itu, Suharyanto juga menegaskan bahwa kejadian banjir dan banjir bandang bukan hanya soal cuaca namun tata ruang dan lingkungan. Setiap wilayah permukiman harus memiliki drainase dengan fungsi yang sesuai, termasuk penampungan seperti embung atau kolam retensi, sehingga apabila terjadi hujan, maka air tidak menggenangi permukiman.
“Saya lihat di daerah masih jarang sekali memiliki drainase untuk menampung air hujan. Ini harus menjadi catatan Kepala BPBD, agar dicek drainasenya. Masyarakat harus sering diberi peringatan,” kata Suharyanto.
Dari berbagai atensi dalam rakor yang juga dihadiri oleh Menko PMK Pratikno, Wakil Menteri Dalam Negeri Akhmad Wiyagus, Kepala BMKG Teuku Faisal, jajaran gubernur, bupati/walikota dan jajaran Kepala BPBD seluruh Indonesia, Kepala BNPB menebalkan bahwa serangkaian upaya praktis, efektif dan efisien seperti yang telah dijelaskan di atas dapat dilakukan demi mencegah serta meminimalisir dampak bencana. Hal yang paling sederhana itu diharapkan dapat dilakukan secara nyata dan berkesinambungan demi menyelamatkan banyak jiwa maupun menekan kerugian material.
“Kita harus berfikir upaya sederhana yang bisa menyentuh langsung masyarakat. Belajar dari pengalaman dari bencana yang sekarang ada. Mudah-mudahan periode nataru ini tidak terjadi bencana di negara kita ini,” pungkas Kepala BNPB. (*)














