Agar Perda Tanah Ulayat benar-benar bisa menjawab persoalan yang terjadi, sebut Rifai, perda tanah ulayat juga harus mengatur masa depan pengelolaan tanah ulayat yang berada di dalam kawasan hutan. Jika poin ini tidak diatur, dapat dipastikan bahwa perda ini akan mandul dalam penerapannya.
“Kenapa? Ya karena tanah ulayat Sumbar yang berada di kawasan hutan cukup tinggi. Luasnya mungkin sekitar 1,5 juta hektare. Termasuk yang telah menjadi taman nasional, hutan konservasi dan sebagainya,” jelasnya.
Ia menambahkan, Perda Tanah Ulayat, juga perlu mengatur soal masa depan pengelolaan tanah ulayat milik masyarakat adat Mentawai yang notabene berbeda secara adat istiadat dengan masyarakat Sumbar daratan. Apalagi, jumlah konflik agraria dan ruang hidup yang terjadi di wilayah Kabupaten Mentawai juga terbilang tinggi. Sehingga sudah semestinya para penyusun perda juga memikirkan nasib masyarakat adat mentawai yang saat ini kehidupan mereka sudah sangat terancam dengan masifnya penerbitan HGU diatas tanah ulayat mereka. “Kalau pun dalam perda itu akan dicantumkan bahwa bagi Mentawai akan diatur dalam perda khusus tersendiri, namun panitia perumus juga mesti bertanggung jawab juga merumuskan perda ulayat Mentawai.” pungkasnya.
Hal senada juga disampaikan Direktur LBH Padang, Indira Suryani, menilai, keberadaan tanah ulayat Sumbar pada hari ini, sudah semakin terancam dengan masifnya penerbitan izin investasi serta sejumlah kebijakan Negara yang berpotensi makin meminggirkan masyarakat adat. “Hak masyarakat adat beserta tanah ulayat ini, sudahlah dirampas, tapi masih juga dituding sebagai penghambat investasi, “ujarnya kepada Haluan di Padang belum lama ini.
Padahal, kata Indira, sumber masalah utama, terletak pada keengganan pemerintah untuk mengakui serta mengakomodir keberadaan tanah ulayat. Akibatnya, konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan meletus dimana-mana.
Di tengah fakta maraknya konflik agraria yang terjadi di berbagai daerah di Sumbar saat ini, Lanjut Indira, Ranperda tanah ulayat semestinya harus berorientasi terhadap pemulihan serta perlindungan tanah ulayat. Namun sayangnya, dalam draft Ranperda itu , Tanah ulayat justru malah diposisikan sebagai tanah cadangan. Padahal, realita di lapangan, banyak tanah ulayat yang digunakan maupun tidak digunakan. “Jadi isi draft Ranperda yang tengah disusun itu, cenderung tidak mencerminkan realita yang sesungguhnya,” ucap Indira














