Indira juga menyoroti isi draft Ranperda Tanah Ulayat yang menyebutkan bahwa pemanfaatan tanah ulayat bagi investasi, dapat dilakukan melalui dua mekanisme. Yakninya saham dan bagi hasil.
Poin isi draf ini , dinilai bermasalah dan justru kontradiktif dengan tujuan mulia penyusunan Ranperda yang semula bertujuan sebagai instrumen hukum perlindungan keberadaan tanah ulayat. “Jika memang tujuannya melindungi, harusnya jual beli saham tanah ulayat di pasar modal mesti dibatasi,” jelasnya.
Catatan lainnya, LBH Padang bersama koalisi masyarakat sipil, juga menilai Ranperda Tanah Ulayat belum mengakomodir atau bahkan mengabaikan keberadaan tanah ulayat yang ada di Kabupaten Kepulauan Mentawai “Ranperda ini hendaknya jangan berlaku diskriminatif terhadap Mentawai. Karena bagaimanapun Mentawai adalah bagian dari Provinsi Sumatera Barat,” tegasnya.
Ia juga menyayangkan, identifikasi tanah ulayat diserahkan sepenuhnya kepada pemegang izin tanpa adanya sanksi yang jelas dan peran serta dari Pemerintah daerah.
Padahal, proses identifikasi kepemilikan tanah ini, semestinya adalah titik sentral bagi pemerintah untuk melakukan inventarisasi tanah-tanah ulayat yang saat ini banyak dikuasai oleh pihak-pihak diluar masyarakat adat.
Hal krusial penting lainnya yang luput dicantumkan dalam draft Ranperda Tanah Ulayat itu, adalah mekanisme pemulihan status tanah ulayat yang berada di kawasan hutan. “Yang ada justru hanyalah mekanisme hutan adat. Padahal semestinya, Ranperda ini harus menjadi ruang bagi pemulihan hak atas tanah ulayat yang ada di dalam kawasan hutan, ” terangnya. (h/dar/fzi)














