HARIANHALUAN.ID- Anggota Komisi II DPRD Sumbar, Arkadius Dt.Intan Bano mengatakan, terkait pandangan praktisi pertanian, Ir. Djoni yang menyebut, kebijakan 10 persen APBD Sumbar untuk sektor pertanian mesti didukung semua pihak adalah suatu hal yang benar, dan memang mesti dijalankan.
Dikatakan Arkadius, dari sisi DPRD, Komisi II sebagai yang membidangi sektor pertanian bisa dikatakan sudah optimal mengawal Progul gubernur di sektor ini. Komisi II terus nyinyir mengingatkan pemerintah daerah agar bersinergi dan meningkatkan komunikasi dengan semua pihak-pihak terkait. Baik di pusat maupun di daerah. Namun pihaknya melihat pemerintah daerah masih lemah menjalankan hal tersebut.
Politisi Demokrat itu menuturkan, bicara pertanian, lahannya adanya di kabupaten/kota, petaninya juga ada di kabupaten/kota, sehingga peningkatan sektor pertanian untuk provinsi juga ditentukan dari kinerja kabupaten/kota. Dalam hal ini, harus ada sinergi dalam mengatasi permasalahan-permasalahan pertanian yang ada di daerah.
Meski keterkaitannya sangat erat, Ia melihat sinergi yang dilakukan pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota untuk sektor pertanian ini belum berjalan optimal. Hal itu bisa dilihat masih cukup banyaknya persoalan di sektor pertanian yang dihadapi petani di daerah, diantaranya terkait pupuk, kebutuhan bibit, infrastruktur pertanian dan yang lainnya.
Begitupun bicara tentang komunikasi dengan 14 anggota DPR RI, 4 anggota DPD RI dari Sumatera Barat, dan juga orang Sumatera Barat yang berasal dari dapil provinsi lain, Arkadius melihat hal tersebut belum mampu dioptimalkan gubernur sebagai kepala daerah.
Menurut dia, gubernur mestinya mampu merangkul anggota DPR RI, DPD RI dan orang-orang Sumatera Barat yang ada di pusat, memperjuangkan dana APBN guna mendukung pengembangan sektor pertanian Sumbar.
“Leading sektornya ada di Pemprov bagaimana mengkomunikasikan semua itu, mau tidak mendengar apa yang disampaikan DPRD. Kalau kita sudah lebih dari nyinyir mengingatkannya,” ucap Arkadius saat diwawancarai Haluan, Rabu (5/7).
Ia mencontohkan, saat iven Penas Tani beberapa waktu lalu, DPRD berkali-kali menyampaikan agar persiapan dan pelaksanaan iven tersebut optimal. Pemprov juga diwanti-wanti agar mempersiapkan dengan baik, apa saja ikon pertanian Sumatera Barat yang ingin ditampilkan di hadapan ribuan peserta yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Namun pada kenyataanya jumlah peserta yang menghadiri kegiatan ini tak sampai sesuai target awal, pembukaannya juga tidak dihadiri Presiden.
“Jadi apa yang disampaikan Pak Joni tersebut ada benarnya, perlu menjadi catatan dan perhatian kita semua. Kita berharap Pemprov bisa melihat dimana permasalahannya, bangunlah komunikasi strategis dengan DPRD untuk penganggaran di APBD, berkoordinasilah dengan bupati/wali kota, dan rangkullah anggota DPR RI, serta DPD RI kita yang ada di pusat untuk mendapatkan dukungan pendanaan, teknologi, dan hal-hal strategis lainnya guna pengembangan sektor pertanian ini,” tukasnya.
Arkadius juga menegaskan, sebagai wujud keseriusan DPRD, jika aturan yang tidak ada, DPRD siap melahirkan, jika terkendala dengan dana DPRD juga siap menganggarkan, termasuk melakukan pengawasan atas program-program yang dijalankan, namun untuk eksekusi dan menindaklanjuti, kewenangannya tentu ada di pemerintah daerah.
Tak sampai di sana saja, jelas dia kunjungan kerja ke luar daerah DPRD juga selalu mendorong untuk bisa terjalinnya MoU antara Sumbar dengan provinsi-provinsi yang dikunjungi. Yang sudah diantaranya kerja sama dengan Riau, dan juga sudah dikembangkan ke Jambi dan Bengkulu.
Ia menambahkan, atas telah terjalinnya kerja sama dengan sejumlah provinsi lain, DPRD juga sudah mengingatkan pemprov untuk meminta kabupaten/kota menindaklanjuti, sebab produk-produk pertanian itu adanya di kabupaten/kota.
Kemudian, ketika kunjungan kerja ke kementerian terkait DPRD juga selalu menyampaikan tentang potensi-potensi yang dimiliki Sumbar, dan minta arahan untuk pengoptimalannya.
“Meski hal-hal demikian sudah dijalankan, sayangnya tindaklanjut dari OPD sangat lamban. Termasuk misalnya terkait Toko Tani Indonesia Center, kita dorong dari UPTD untuk menjadi BLUD namun belum terlaksana, mau dibikin BUMD Agro masih belum juga, mau dibentuk pabrik pakan ternak untuk mendatangkan sapi simental dari luar negeri, tetap belum juga,” ucapnya.
“Mestinya OPD terkait sigap. Harus konsen, bagaimana agar anggaran 10 persen tadi tetap bisa konsisten tiap tahunnya, uangnya betul-betul digunakan untuk pengembangan sektor pertanian, dan kesejahteraan masyarakat kita juga bisa meningkat,” tukasnya.
Hal senada juga disampaikan Anggota Komisi II DPRD Sumbar, Nurkhalis Dt. Bijo Dirajo. Pihaknya melihat, upaya gubernur untuk mendapatkan anggaran pusat melalui berkomunikasi dengan anggota DPR RI yang berasal dari Sumbar belum berjalan sesuai yang diharapkan.
“Sejauh ini dari dewan kita di pusat memang tidak ada, tapi pertanyaannya apakah pernah gubernur sebagai kepala daerah sudah ada merangkul wakil rakyat kita yang di pusat itu? Seharusnya kan dikomunikasikan. Seperti kepada Bapak Andre Rosiade misalnya, pernah ga gubernur meminta seperti itu,” ucap dewan dari Fraksi Gerindra tersebut.
Kalau untuk DPRD Sumbar, Nurkhalis menegaskan, setiap anggota dewan selalu turun menjaring aspirasi dari masyarakat, dan menyampaikannya ke pemerintah daerah apa saja potensi dalam sektor pertanian ini yang harus dioptimalkan.
“Bisa dibilang kita memang sudah nyinyir menyampaikan aspirasi yang berkembang, serta kendala lapangan yang terjadi. Hanya saja tindak lanjuti dari OPD terkaitnya kan sangat lamban. Selain itu tidak ada inovasi-inovasi yang dijalankan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan,” tukasnya.
Sebelumnya, praktisi pertanian, Ir. Djoni saat ditemui di Dangau Inspirasi miliknya, beberapa waktu lalu menyebut, kebijakan 10 persen APBD untuk sektor pertanian sudah semestinya didukung oleh semua pihak. Tak hanya oleh pemerintah provinsi tapi juga pemerintah kabupaten/kota dan anggota dewan, baik yang di daerah ataupun pusat.
Namun nyatanya, menurut Djoni, pemerintah provinsi masih terkesan berjalan sendiri. Tak ada kebijakan serupa, atau paling tidak yang dapat mendukung kebijakan tersebut, dari pemerintah kabupaten/kota. Pun tak ada dukungan berarti dari DPRD maupun DPR RI.
Di sisi lain, diketahui bahwa hingga saat ini, Sumbar masih amat bergantung dari kucuran dana APBN dari pemerintah pusat, lantaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sumbar yang terbilang kecil dibanding provinsi-provinsi lain di Indonesia. Sayangnya transfer dana pusat setiap tahun terus dikurangi. Berdasarkan data Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Sumbar, total anggaran Belanja Transfer yang diterima Sumbar pada 2022 lalu adalah Rp1,02 triliun. Jumlah ini, menurut BPKAD lebih kecil dibanding yang diterima tahun sebelumnya.
“Nah, karena kita tahu Sumbar masih bergantung dari dana pusat, harusnya kebijakan pemprov ini bisa menjadi ‘bargaining chip’ bagi DPRD dan DPR RI unutk menjuluk dana yang lebih besar ke pusat. ‘Ini kami sudah tunjukkan kepedulian kami lho untuk kaum petani, bagaimana dengan pemerintah pusat? Mau tidak mendukung usaha kami ini?’ Kan harusnya begitu anggota dewan. Nyatanya kan tidak ada upaya ke arah sana,” ujar mantan Kepala Dinas Pertanian Sumbar itu.
Menurutnya, pemerintah pusat sudah seharusnya mendukung komitmen yang ditunjukkan Sumbar untuk sektor pertanian ini. Bagaimanapun, Sumbar satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan kebijakan ini. (*)














