PADANG, HARIANHALUAN.ID — Sumatera Barat terus mengembangkan berbagai potensi pariwisata untuk menyajikan destinasi yang lebih beragam dan berkesan. Selain desa wisata yang terus berkembang, ekowisata berbasis perhutanan sosial juga kian dipoles untuk menjadi daya tarik baru bagi para pelancong.
Kepala Dinas Pariwisata Sumbar, Luhur Budianda meyakini, program perhutanan sosial, terutama keberadaan destinasi ekowisata, merupakan salah satu pilar penunjang keberhasilan upaya menggerakkan perekonomian masyarakat Sumbar lewat sektor pariwisata.
“Perhutanan sosial dan sektor pariwisata memiliki kaitan yang sangat erat. Keduanya bagaikan sayap yang harus berjalan selaras dan beriringan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya kepada Haluan Jumat (7/7) kemarin.
Luhur Budianda menjelaskan, keberadaan wilayah hutan Sumatra Barat yang kondisinya masih rimbun terjaga secara alami, adalah magnet tersendiri bagi para wisatawan lokal maupun mancanegara yang hendak beristirahat dari segala hiruk pikuk kota.
Atas dasar itu, sudah semestinya segala potensi wisata alam yang berada di dalam atau sekitar kawasan hutan Sumbar, dikelola secara terarah sesuai dengan prinsip pelestarian secara berkelanjutan.
Ia menyebut, Dinas pariwisata Sumbar, selama ini telah memberikan dukungan penuh terhadap OPD dan instansi terkait lainnya yang berkeinginan ambil bagian dalam upaya pengembangan potensi wisata alam yang berada di dalam kawasan hutan lindung, konservasi maupun produksi.
“Misalnya program pengembangan Taman Wisata Alam atau TWA Marapi yang dilakukan BKSDA Sumbar. Dinas Pariwisata mendukung adanya aktivitas pariwisata seperti Camping, Tracking dan lain-lain. Itu namanya Eko Wisata,” ucapnya.
Luhur Budianda menuturkan, potensi perhutanan sosial Sumbar dan segala bentuk pemberdayaan turunannya, memiliki prospek ekonomi yang sangat bagus. Bahkan menurutnya, perputaran uang yang terjadi di sejumlah ekowisata setiap peak season, terbilang menggembirakan.
“Contohnya, di objek wisata Kapalo Banda Taram Kabupaten Limapuluh Kota, pada musim libur lebaran kemarin saja, kunjungan wisatawan mencapai 12 ribu atau bahkan ratusan ribu orang,” jelasnya.
Kendati demikian, lanjut Kadispar, strategi pengembangan tata ruang ekowisata di berbagai daerah, perlu dilakukan secara terarah, terencana serta memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan.
“Sebab jika pembangunannya dilakukan secara sporadis, sembarangan dan tidak terencana dengan baik, tata ruang objek ekowisata pasti akan semrawut dan kacau,” ungkapnya.
Kadispar menambahkan di berbagai daerah di penjuru tanah air, produk-produk perhutanan sosial bukan kayu, bahkan telah banyak dijadikan sebagai produk ekonomi kreatif (Ekraf) premium yang menghasilkan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat.
Mengingat Sumbar merupakan daerah tujuan wisata, model bisnis serupa berpeluang besar untuk diterapkan oleh pelaku Ekraf yang ada di Sumbar. Apalagi, sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat Sumbar adalah orang yang pintar dalam menangkap peluang bisnis.
“Produk Ekraf perhutanan Sosial Sumbar bisa dijual sebagai oleh-oleh berharga premium oleh masyarakat. Selain itu, keberadaan destinasi Ekowisata juga merupakan bukti nyata kaitan antara sektor pariwisata dan kehutanan,” jelasnya.
Luhur Budianda juga mengakui, selama ini pihaknya sangat terbantu dengan adanya gerakan pemberdayaan Kelompok Petani Hutan (KPH) yang dilakukan oleh dinas kehutanan Sumbar.
Sebab menurut dia, KPH merupakan salah satu unsur yang telah ikut bahu membahu bersama dengan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) maupun organisasi sejenis lainnya dalam upaya mengembangkan potensi wisata yang ada di tingkatan tapak atau akar rumput Kabupaten Kota.
“Kedepannya, kolaborasi antar OPD, instansi terkait serta Pentahelix ini perlu terus didorong. Baik pada program perhutanan sosial, maupun pengembangan sektor pariwisata Sumbar,” pungkasnya. (h/fzi)














