JAKARTA, HARIANHALUAN.ID — PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) atau Mitratel mengumumkan telah merealisasikan sektiar 83 persen dana hasi penawaran umum perdana saham (IPO) untuk belanja modal dan modal kerja. Meski demikian, likuiditas perseroan masih melimpah, sehingga kemampuan ekspansi masih besar untuk memberikan nilai tambah bagi pemegang saham.
Mengacu pada keterbukaan informasi yang dirilis perseroan, MTEL telah menggunakan Rp 15,3 triliun dari total perolehan dana IPO saham senilai Rp 18,5 triliun. Sebanyak Rp 13,5 triliun dimanfaatkan untuk belanja modal dalam rangka akuisisi menara dan sisanya Rp 1,8 triliun untuk modal kerja.
Dilansir dari Investor.id, Analis MNC Sekuritas Andrew Susilo menjelaskan, sebagian besar dana dari IPO perseroan dimanfaatkan untuk akuisisi menara telekomunikasi, sehingga penggunaan dana tersebut positif. “Kalau dicermati sebagian besar dana IPO digunakan untuk belanja modal akuisisi menara. Kita bisa lihat sekarang MTEL menjadi market leader dengan penguasaan menara lebih dari 36 ribu,” ujarnya di Jakarta, kemarin.
MTEL kini menjadi market leader dengan total jumlah menara mencapai 36.439, lebih banyak dari kompetitornya seperti PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) sebanyak 29.757 menara dan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) dengan 21.991 menara di kuartal I-2023.
Menurut dia, kebiajakan MTEL yang agresifi mengakuisisi menara memang suatu hal yang krusial untuk dilakukan di industri menara. “Di industri tower, skala bisnis itu penting sehingga akuisisi menara secara agresif menjadi prioritas banyak pemain. Dengan memiliki jumlah menara paling banyak, ruang monetisasinya juga semakin terbuka lebar. Hal ini menjadi kunci sukses di industri menara,” ungkapnya.
Pascamenggunakan Rp 15,3 triliun, kini sisa dana hasil IPO MTEL mencapai Rp 3,3 triliun. Meski telah terpakai banyak, Andrew masih optimis MTEL memiliki ruang untuk ekspansi yang lebar, terutama jika ingin meningkatkan jumlah portofolio menara maupun untuk ekspansi ekosistem.
“Per akhir kuartal 1-2023 kas dan setara kas MTEL Rp 4,8 triliun. Kalau per tahun beban bunga yang ditanggung MTEL mencapai Rp 1 triliun dan MTEL juga menganggarkan untuk buyback sebesar Rp 1,5 triliun, maka sisanya dana masih ada Rp 2,2 triliun. Berdasarkan hitungan kasar, nilai tersebut mencukupi untuk mengakuisisi 1.150-1.250 menara dengan asumsi harga per menara setara Rp 2 miliar,” jelas Andrew.
Tidak hanya untuk ekspansi, membayar utang dan buyback saham, menurut dia, MTEL juga masih memiliki ruang likuiditas untuk membayar dividen dengan potensi laba bersih yang diperoleh tahun ini tumbuh setidaknya 10-11% mencapai Rp 2 triliun.
Hal ini mendorong Andrew untuk mempertahankan rekomendasi buy saham MTEL dengan target harga Rp 1.000/saham atau mengindikasikan adanya potensi upside sebesar 50% dari harga penutupan perdagangan Senin (17 Juli 2023) sekitar Rp 660 per saham.
Potensi Fiber Optic
Sementara itu, analis Trimegah Sekuritas Richardson Raymond dan Sabrina mengatakan, Mitratel merupakan perusahaan menara telekomunikasi terbesar di Indonesia dengan portofolio sebanyak 36.439 menara telekomunikai. Angka tersebut jauh di atas Tower Bersama (TBIG) sebanyak 21.991 menara dan Sarana Menara (TOWR) mencapai 29.757 menara hingga kuartal I-2023.
Selain kepemilikan menara terbanyak, dia mengatakan, Mitratel memiliki jaringan menara terluas di luar pulau Jawa atau mencapai 58%. Perseroan juga tercatat sebagai perusahaan menara telekomunikasi dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia.
Sentimen positif bagi Mitratel, terang dia, datang dari pertumbuhan rasio kolokasi dan tenan menara telekomunikasi perseroan. Hal ini didukung komitmen seluruh operator selular untuk peningkatan kualitas jaringan dengan menambah BTS 4G dan perluasan jaringan ke luar Jawa.
“Kami memperkirakan Mitratel akan menjadi perusahaan menara yang paling diuntungkan atas gencarnya peningkatan kualitas jaringan operator di luar pulau Jawa. Hal ini akan membuat rasio tenan meningkat menjadi 1,53 kali tahun 2023 dan menjadi 1,59 kali pada 2024,” tulisnya.
Selain faktor tersebut, dia mengatakan, Mitratel didukung infrastruktur fiber optic yang telah mencapai 25.508 kilo meter hingga kuartal I-2023. Infrastruktur ini telah tersebar di berbagai darah Indonesia. Meski demikian kontribusinya baru mencapai 1,7 persen terhadap total pendapatan tahunan.
“Kami melihat bahwa ada potensi peningaktan secara massif panjang fiber optic Mitratel, jika Telkom yang menguasai sepanjang 170.035 km fiber optic dilepas kepada Mitratel ke depan. Namun strategi ini akan sangat tergantung kepada Telkom,” terangnya.
Trimegah Sekuritas juga memberikan pandangan positif terhadap sisi keuangan Mitratel, menurut dia, net gearing MTEL hanya mencapai 0,3 kali pada kuartal I-2023 atau jauh rendah dari kompetitornya, seperti TOWR mencapai 3 kali dan TBIG sekitar 2,2 kali. Bahkan, total utang perseroan diprediksi lanjut turun dalam beberapa tahun mendatang didukung kuatnya posisi keuangan perseroan.
Trimegah Sekuritas menargetkan kenaikan laba bersih Mitratel menjadi Rp 2,05 triliun tahun ini, dibandingkan raihan tahun lalu Rp 1,78 triliun. Begitu juga dengan pendapatan perseroan diprediksi meningkat dari Rp 7,72 triliun menjadi Rp 8,63 triliun pada 2023.
Hal ini mendorong Trimegah Sekuritas mempertahankan rekomendasi beli saham MTEL dengan target harga Rp 940. Target tersebut mengimplikasikan EV/EBITDA tahun 2024 sektiar 12 kali. (*)














