PADANG, HARIANHALUAN.ID — Pakar Ekonomi dari Universitas Andalas (UNAND), Prof Dr Elfindri menyebut, fenomena keterlambatan realisasi APBD merupakan permasalahan yang jamak terjadi di Indonesia maupun Sumatera Barat (Sumbar) sejak beberapa tahun belakangan.
Elfindri menilai, keterlambatan realisasi anggaran, pada banyak kasus selalu dipicu tekanan psikologis yang dialami oleh mereka yang ditunjuk sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) maupun Pimpinan Proyek (Pimpro).
“Pelaksana proyek kadang ragu-ragu, khawatir atau bahkan takut untuk menjalankan proyek lantaran begitu ketatnya regulasi aturan, besarnya risiko serta adanya kecurigaan yang besar terhadap mereka,” ujarnya kepada Haluan Minggu (23/7).
Selain faktor tekanan psikologis, lanjut Elfindri, keterlambatan serapan anggaran juga bisa disebabkan oleh ketidaksiapan struktur kelengkapan personel pelaksana proyek, atau bahkan belum optimalnya jadwal schedule tahapan-tahapan dan daftar isian anggaran.
“Ketidaksiapan ini bentuknya macam-macam. Bisa jadi karena timnya belum dibentuk atau timnya pindah kerja atau sebagainya, Ini harus jadi bahan evaluasi bagi Bappeda untuk memastikan siapa melakukan apa dan kapan pelaksanaannya,“ ujar Elfindri yang juga merupakan Direktur Sustainable Development Goals (SDGS) Universitas Andalas ini.
Elfindri menegaskan, idealnya sequence jadwal proyek-proyek pemerintah yang dilaksanakan dengan menggunakan dana APBD, hendaknya mesti dilaksanakan secara merata dari bulan Januari hingga Desember,
Tujuannya adalah agar jangan sampai ada proyek yang dilaksanakan secara asal jadi, terlambat maupun tergesa-gesa. Apalagi dalam beberapa proyek pembangunan fisik, persoalan kendala pembebasan status lahan kadangkala memakan waktu yang cukup lama.
Artinya, sebutnya, pemerintah daerah melalui Bappeda mesti bisa mengidentifikasi akar permasalahan yang kerap menyebabkan terlambatnya waktu pelaksanaan proyek. Apakah itu murni disebabkan minimnya literasi aturan pelaksana proyek, atau bahkan karena persoalan lainnya.
“Namun memang harus diakui bahwa faktor hambatan ketakutan Psikologis ini cukup berpengaruh, sebab ketatnya aturan dan pengawasan membuat orang ketakutan untuk melaksanakan proyek,” ungkapnya.
Selain akibat ketatnya aturan dan pengawasan, lanjut Elfindri, tekanan psikologis juga bisa berasal dari kebiasaan buruk memberikan setoran fee Proyek kepada atasan. Kasus seperti ini telah berhasil diungkap aparat penegak hukum di beberapa daerah.
Atas dasar itu, lanjut Elfindri, agar tekanan psikologis penyelenggara proyek tidak terlalu besar, mereka mesti memiliki literasi regulasi yang cukup baik. Disamping itu, mereka juga perlu didampingi oleh kuasa hukum yang berkompeten.
“Aspek regulasi juga perlu dibenahi, bahasa-bahasa rumit yang sulit dipahami mesti dihilangkan agar lebih mudah dimengerti. Tujuannya agar tidak ada lagi keraguan-keraguan maupun ketakutan penerapan aturan yang bisa menyebabkan tertundanya pelaksanaan proyek,” pungkasnya. (*)














