Ia menjelaskan, Perda tanah ulayat pada dasarnya bertujuan untuk menyelamatkan tanah ulayat Sumbar yang saat ini diperkirakan hanya tersisa sekitar 8,4 persen di seluruh daerah. Atas dasar keprihatinan itu, Komisi 1 DPRD Sumbar akhirnya memutuskan menginisiasi Ranperda tanah ulayat ini.
Desrio Putra memastikan, Ranperda tanah ulayat telah memuat poin yang mengatur soal masa depan nasib pengelolaan tanah ulayat bekas belasan HGU perusahaan perkebunan sawit skala besar yang saat ini beroperasi di Sumbar. “Keinginan kita HGU yg sudah habis tidak diperpanjang serta hak pengelolaannya dikembalikan kepada pemilik ulayat,” tegasnya.
Ia menuturkan, jika mengacu kepada aturan yang ada saat ini, apabila suatu HGU tidak lagi diperpanjang oleh perusahaan, maka secara otomatis tanah itu statusnya akan menjadi milik negara.
“Jika mengacu kepada aturan yang saat ini saja, kedepannya tanah ulayat akan habis dikuasai oleh perusahaan dan negara. Ini tidak boleh dibiarkan serta kita perlu menjaga kelestarian tanah ulayat,” jelasnya.
Sebelumnya, pada proses penyusunan Ranperda tanah ulayat ini, DPRD Sumbar juga telah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar, dan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar pada Rabu (22/2) lalu.
Pada kesempatan itu, Komisi 1 DPRD Sumbar menegaskan bahwa Ranperda Tanah Ulayat akan lebih memprioritaskan ulayat wilayah nagari, tidak menyangkut ulayat kaum atau suku. Hal itu karena penerapan hak atas tanah ulayat kaum atau suku berbeda-beda sesuai dengan adat daerah masing-masing.














