Prof Kurnia Warman menjelaskan, sesuai dengan asas Non Retroaktif, setiap produk hukum baru tidak bisa berlaku surut. Atas dasar itu, pengesahan Ranperda Tanah Ulayat menjadi Perda, dipastikan tidak akan mengganggu atau berimplikasi terhadap HGU yang terbit di atas tanah ulayat yang telah terdaftar sebelumnya. “Artinya, Ranperda Tanah Ulayat hanya bisa ditujukan kepada tanah ulayat yang masih utuh dan belum menjadi HGU. Sebab sesuai asas Non Retroaktif, hukum tidak berlaku surut,” jelasnya lagi.
Ia menerangkan, status tanah ulayat yang di atasnya telah diterbitkan izin investasi HGU, statusnya otomatis menjadi tanah negara. Sebab secara hukum, status tanah ulayat semerta-merta langsung hilang saat diberikan HGU.
Kendati demikian, peluang masyarakat hukum adat untuk mendapatkan manfaat atas tanah ulayat bekas HGU masih ada. Namun hal itu pun berpulang kepada keputusan pemerintah yang menentukan apakah HGU akan diperpanjang atau diakhiri. “Jika ternyata pemerintah memperpanjang, berarti HGU dilanjutkan, tapi kalau pemerintah tidak memperpanjang, statusnya akan tetap menjadi tanah negara,” ucapnya.
Prof Kurnia Warman menyampaikan, ada dua metode yang bisa ditempuh untuk mengembalikan hak pengelolaan tanah ulayat bekas HGU kepada masyarakat. Metode itu diantaranya adalah melalui program reforma agraria atau menjadikan tanah negara bekas HGU itu menjadi aset Nagari.
“Jika disepakati kembali ke Undang-Undang Pertanahan bisa ditempuh melalui reforma agraria. Artinya, tanah negara bekas HGU yang dulunya adalah tanah ulayat, bisa dibagi-bagikan kepada masyarakat. Opsi ini juga memungkinkan lantaran pemerintah daerah merupakan bagian dari gugus tugas reforma agraria yang bisa mempercepat,” ujarnya.
Sementara opsi lainnya, kata Prof Kurnia Warman, dengan menyerahkan hak pengelolaan tanah negara bekas HGU kepada pemerintah nagari yang notabene juga merupakan bagian penyelenggara negara.
Melalui langkah ini, lanjutnya, pemerintah nagari bisa memanfaatkan aset ini sebagai sumber pendapatan nagari untuk menyelenggarakan urusan nagari. “Jadi, nasib pengelolaan tanah negara bekas HGU ini tidak sesederhana ungkapan kabau pai kubangan tingga. Harus jelas kepada siapa hak pengelolaan tanah itu akan diserahkan setelah berakhirnya HGU,” pungkasnya. (*)














