Sebab pada kenyataannya, rata-rata DAS penting krusial yang berpengaruh terhadap siklus hidrologis serta ketersediaan supply air di empat PLTA yang ada di Sumbar telah mengalami degradasi lingkungan yang sedemikian parahnya lantaran terjadinya alih fungsi lahan yang masif tanpa memperhatikan kaedah konservasi lingkungan.
“Kerusakan lingkungan sebenarnya tidak hanya terjadi di DAS Kampar, namun juga terjadi di DAS Sumani yang berhulu di daerah Solok. Di sana daerah yang semestinya menjadi areal tangkapan dan resapan air sudah berubah menjadi kawasan pertanian bawang dan sebagainya,” katanya.
Kondisi itu semakin diperparah dengan mulai dibukanya kawasan hutan konservasi atau lindung untuk dijadikan sebagai lokasi wisata dan sebagainya. Padahal sesuai aturan berlaku telah jelas dan tegas dibunyikan bahwa hutan lindung adalah areal terlarang yang tidak boleh diganggu.
“Saya pernah melakukan penelitian di PLTA Singkarak yang dialiri 13 anak sungai mulai dari Padang Panjang, hingga DAS Sumani. Pada musim kering 10 sungai di daerah itu kering. Hanya tiga sungai yang masih mengalir. Penyebabnya adalah kerusakan daerah hulu yang telah mengalami degradasi sejak lama,” kata Bujang Rusman.
Bujang menyebutkan, dampak kerusakan kawasan hulu DAS Sumani yang menjadi sumber air penggerak turbin PLTA Singkarak, bahkan telah bisa dirasakan secara nyata. Dimana saat ini, PLTA Singkarak justru sangat tergantung kepada air hujan untuk menggerakkan turbin-turbin pembangkit listriknya.
Alokasi Dana Pajak Air
Bujang Rusman juga menyerukan agar semua pihak segera mengambil langkah nyata untuk menyelamatkan bagian hulu daerah aliran sungai utama yang ada di Sumbar. Upaya penyelamatan dan pemulihan, bisa dilakukan dengan menggunakan dana Pajak Air Permukaan senilai milliaran rupiah yang selalu dibayarkan PLN Regional Sumbar kepada pemerintah. “Dana itu 100 persen harus digunakan sepenuhnya untuk konservasi daerah hulu DAS,” ujarnya.














