PADANG, HARIANHALUAN.ID — Tak pernah terlintas dalam kepala Elsa Maharani usaha konveksi sederhana yang berkembang menjadi kampung jahit mengantarkannya menjadi salah satu penerima penghargaan SATU Award yang diberikan kepada sosok inspiratif di tanah air.
Melalui kampung jahit, Elsa membangun wadah usaha yang memberdayakan perekonomian masyarakat di sekitar tempat tanggal di Koto Tingga, Kelurahan Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, Kota Padang. Kini Kampung Jahit telah memiliki puluhan mitra yang terdiri dari ibu rumah tangga, korban PHK hingga penyandang disabilitas dengan omset berkisar Rp4juta dalam satu bulan.
Elsa mulai merintis kampung jahit ini sejak 2016. Berbekal dari pengalamannya berdagang secara daring pakaian, Elsa kemudian memberanikan diri untuk membuat konveksi sendiri.
Berbagai tantangan dan cobaan dilalui Elsa dalam membangun kampung jahit tersebut. Bagi Elsa untuk mendapatkan keberhasilan butuh proses yang panjang dan istiqamah dalam menjalaninya.
“Hanya Bandung Bondowoso yang bisa sukses dalam semalam, itu pun kalau tidak dikerjai Roro Jonggrang, sementara saya apa, orang biasa yang mesti jungkir-balik juga setiap memulai usaha, bahkan dari waktu masih duduk di bangku sekolah dasar saya sudah mulai untuk mencoba berwirausaha,” ucapnya kepada Haluan, beberapa waktu lalu.
Elsa bercerita tentang perjuangannya saat memulai usaha konveksi dulu. Ia bahkan harus pergi ke Bukittinggi untuk mencari penjahit yang bisa diajak sebagai mitra.
“Saya mulai mencari-cari konveksi di Kota Padang, tapi di Padang ternyata nggak nemu, dan akhirnya saya malah nemunya di Bukittinggi, dan disanalah saya mulai mencoba memproduksi brand sendiri Maharani untuk pertama kali,” cerita Elsa.
Namun, sambung Elsa usahanya membangun brand sendiri tersebut tidak berjalan mulus. Bahkan sempat membawa Elsa hampir di fase menyerah karena proses yang ia jalani.
“Namanya proses tentu tak ada yang akan berjalan dengan mulus, pasti akan ada sandungan-sandungan yang akan membuat kita berpikir ulang atau malah menyerah sama sekali, karena produksi di Bukittinggi bisa dikatakan gagal total,” kata Elsa.
“Bahkan secara finansial, saya merasa hancur sebenarnya melihat hasilnya yang seperti itu, apalagi sebelumnya, saya kan sudah menjual brand terkenal di Indonesia, jadi saya sangat tahu betul bagaimana kualitas jahitan yang bagus tersebut,” tutur Elsa menambahkan.
Elsa pantang untuk menyerah. Ia berpikir keras untuk bisa mendapatkan kualitas yang terbaik dan sesuai dengan selera konsumen.
Dari kondisi itu, Elsa mendapatkan ide untuk mencoba merangkul tetangganya yang ia nilai memiliki kemampuan menjahit untuk menjadi mitra bagi brand Maharani. Gayung bersambut, tetangga Elsa menerima pinangan menjadi mitra tersebut.
“Pada pertengahan tahun 2019, kami memproduksi dari rumah masing-masing, sehingga di sebutlah kampung ini dengan kampung jahit,” ujar Elsa.
Lamban laut, Kampung Jahit itu semakin banyak memproduksi, mulai dari hijab, pakaian wanita hingga baju gamis untuk para pria. Konveksi yang dibangun Elsa itu mulai memberikan dampak dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat Koto Tinggi.
Capaian ini yang menghantarkan Elsa didapuk sebagai salah satu penerima penghargaan SATU Indonesia Award oleh PT. Astra International. Elsa juga mendapatkan bantuan dana hibah untuk mengembangkan kampung jahit yang ia rintis bersama masyarakat.
“Nah, jika seandainya saya tidak gagal waktu itu, tentu tak akan pernah terbit di benak saya untuk mendirikan kampung jahit ini melalui jalur pemberdayaan, dan alhamdulilah, setelahnya saya juga kemudian mendapatkan penghargaan dari PT. Astra Internasional atas kepedulian mereka pada bidang pemberdayaan ini,” sebut Elsa.
Saat ini total karyawan dan mitra yang bekerja sama dengannya mencapai 70 orang, dan hampir semuanya itu adalah penduduk asli Simpang Koto Tingga. Dalam satu bulan, Kampung Jahit kini mampu memproduksi 5 ribu biz.
Para mitra Maharani ini bisa mendapatkan pendapatan tambahan berkisar Rp790 ribu sampai Rp1 juta perorang dalam satu Minggu atau sekitar empat juta rupiah setiap bulannya.
Dan ini tentu adalah kesuksesan yang sangat besar bagi Elsa Maharani, sebab dalam kesuksesan yang ia raih tersebut juga tertumpang perekonomian orang lain, terutama perekonomian 70 keluarga yang bekerja bersamanya.
“Ya, sangat terbantulah pastinya, dulu, sebelum bekerja di sini, setiap kali uang semester anak saya jatuh tempo, pasti saya akan mondar-mandir buat cari pinjaman, pokoknya pusing kali,” ucap Rina, salah seorang mitra Maharani.
Rina mengaku tak lagi pusing untuk mencari pinjaman uang semester anaknya, bahkan ia juga sudah bisa menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung.
Hal senada juga disampaikan mitra Maharani lainnya, Saman yang kehilangan pekerjaan saat pandemi lalu.
“Sedih kalau diceritakan pokoknya, apalagi waktu zaman corona itu semuanya juga lagi susah kan ya, jadi ngutang sana-sini itu susah kali, sampai akhirnya saya disarankan untuk menemui suami dari Elsa ini,” tuturnya.
Selanjutnya ia sangat bersyukur bisa bergabung bersama Kampung Jahit yang telah menjadi harapan di tengah-tengah kesempatan kerja yang semakin sempit ini.
“Saya jadi membayangkan, jika manusia yang hidup di Bumi ini banyak yang mampu berpikir dan berbuat seperti apa yang Elsa lakukan, tentu kehidupan di atas Bumi akan sedikit lebih baik dari sekarang,” ujarnya. (h/dino)














