Lanjut ia tegaskan, LKAAM Sumbar mendukung penuh pengembalian hak pengelolaan tanah ulayat Eks HGU kepada masyarakat hukum adat. Apalagi, upaya itu telah diatur didalam sejumlah produk hukum perundang-undangan yang mengakui dan melindungi eksistensi keberadaan dan hak tanah ulayat masyarakat hukum adat.
Sesuai dengan Perda nomor 6 tahun 2008 pada Bab III Pasal 5, jelas Fauzi Bahar, jenis tanah ulayat dapat diklasifikasikan menjadi tanah ulayat kaum, tanah ulayat suku. tanah ulayat nagari serta tanah ulayat rajo.
Sementara sistem kerjasama pemanfaatan tanah ulayat itu, sambungnya, bisa dilakukan lewat mekanisme penyertaan modal, bagi hasil, sewa menyewa hingga kepada sistem pengelolaan lewat koperasi . “Ini semuanya yang berhak menentukannya adalah Nagari. Adat salingka Nagari itu yang berhak adalah Nagari, Bukan LKAAM,” ujarnya.
Fauzi Bahar membeberkan, sejauh ini LKAAM SUmbar telah menerima sejumlah aduan dari masyarakat adat di berbagai daerah terkait dengan sengketa pertanahan ulayat yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah ABRI, dan investor. “Ada puluhan kasus yang kita himpun setiap tahunnya. Fenomena ini bahkan hampir terjadi di hampir seluruh daerah di Sumatra Barat,” ungkapnya.
Ia memperkirakan, saat ini hampir 2 juta hektar tanah di Sumbar, telah dikuasai oleh investor pemegang izin HGU yang diterbitkan oleh negara. Namun saat ini, ucapnya, LKAAM Sumbar telah meminta Kementrian ATR BPN untuk melakukan moratorium penerbitan izin HGU di Sumbar.
Sebab menurut dia, semestinya negara tidak bisa semerta- merta melakukan penerbitan izin tanpa melibatkan partisipasi aktif dan nyata dari masyarakat hukum adat itu sendiri. Atas dasar itu, program sertifikasi tanah ulayat mesti didukung semua pihak untuk melindungi seluruh tanah ulayat yang ada di Sumbar.














