Sebab jika mencermati pemberitaan media, sebutnya, delik kasus ini lebih tepat disebut sebagai pemerasan dalam jabatan yang dilakukan seorang pejabat kepada para bawahan jajarannya yang ada di Kabupaten Kota.
“Apalagi beberapa kepala UPTD Samsat di daerah, diminta untuk menyetor sejumlah uang kepada atasannya. Dengan saksi yang sudah sebanyak itu, sebenarnya tidaklah sulit bagi penyidik untuk bisa menemukan dua alat bukti yang cukup,” jelasnya.
Berkaca dari perjalanan kasus ini, menurut Diki, ada semacam ketakutan psikologis untuk melapor yang dialami oleh para bawahan atau Kepala UPTD Samsat Kabupaten Kota yang menjadi korban pemerasan dalam jabatan oleh atasannya sendiri.
Hal itu terlihat dari hampir tidak munculnya satu pun orang pun korban yang berani secara terang – terangan membuat laporan resmi bahwa dirinya telah menjadi korban pemerasan dalam jabatan Kepada Aparat Penegak Hukum (APH) maupun Inspektorat Sumbar sendiri.
Ketakutan psikologis yang berujung keengganan membuat laporan resmi seperti ini, jamak ditemukan dalam berbagai kasus korupsi di lembaga pemerintahan yang melibatkan relasi kuasa pola atasan dan bawahan.
Atas dasar itu, Lanjut Diki, dalam menangani kasus semacam ini, sejak awal negara harus hadir dan berperan melindungi saksi dan pelapor. Sebab secara psikologis, pelapor pasti takut melapor karena khawatir akan kehilangan jabatannya. “Ketakutan psikologis ini seharusnya sudah diantisipasi sejak awal. Baik oleh Inspektorat, Polda Sumbar Maupun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK, ” katanya.














