Evaluasi harus dilakukan untuk memastikan apakah kawasan pertanian di kawasan itu telah menerapkan teknik-teknik konservasi tanah dan air. Sebab jika prinsip konservasi ini terus diabaikan maka bencana hidrometeorologis akan terus terjadi.
“Kemudian perlu dipastikan juga, apakah program RHL yang dijalankan telah diiringi dengan edukasi dan melibatkan masyarakat setempat dalam praktiknya,” terangnya.
Tidak kalah pentingnya lagi, lanjut Konservasionis Universitas Andalas ini, Dinas Kehutanan Sumbar dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) mesti memiliki road map perencanaan yang jelas serta berpijak kepada ilmu pengetahuan dalam upaya rehabilitasi lahan kritis di daerah itu.
“Sebab, jika program RHL yang telah pernah dilakukan itu berhasil, tentu dampaknya tidak akan separah yang terjadi sekarang. Dimana banjir dan longsor masih terus terjadi dengan sedemikian parahnya,” ucapnya.
Ia menegaskan, upaya pemulihkan kawasan hutan dan lahan di pegunungan Bukit Barisan maupun kawasan hutan Sumbar lainnya, perlu dilakukan pemerintah daerah dengan serius serta memiliki rencana jangka panjang sesuai dengan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan.
Apalagi, pada kenyataannya, Sumbar merupakan daerah hilir bagi sungai-sungai besar yang mengalir ke provinsi tetangga seperti Riau dan Jambi. Sehingga kelestarian hutan Sumbar, sangat berpengaruh terhadap daerah tetangga lainnya.














