Muhammad Sholihin (Alumni MTI Canduang)
Beberapa minggu belakangan ini masyarakat Sumatera Barat jelas tersentak hebat oleh kasus penyimpangan seksual yang dilakukan ‘oknum’ dan menimpa salah satu pesantren tua, dimana dalam lintasan sejarah pondok pesantren ini telah menjadi ‘tongak tuo’ umat Islam di Minangkabau, MTI Candung. Ulah seorang oknum, arang pun tercoreng didahi komunitas pesantren ini. Jelas ini satu beban berat bagi warga Tarbiyah Islamiyah, khususnya alumni, santri dan pendidik dan jamaah lain yang memiliki ikatan kultural dengan pesantren ini.
Haqqul yaqin tak satupun komponen di pesantren ini yang mentolerir perilaku penyimpangan seksual semacam itu—homo seksual. Naif-nya justru pelaku merupakan bagian dari keluarga besar Pondok Pesantren ini. ‘tungkek mamboak rabah’. Harusnya pendidik yang menjadi ujung tombak melawan perilaku seksual yang menyimpang, tetapi justru mereka yang menjadi pelaku. Rumit tentu saja. Namun perlu dipahami bahwa perilaku semacam itu bisa saja terjadi pada segmen manapun, pada level masyarakat apapun. Tak peduli orang religius, budayawan, maupun kaum terpelajar, ataupun elit kekuasaan. Semua dapat menjadi pelaku dan sekaligus menjadi korban. Sebab perilaku penyimpangan seksual—homo seksual, sangat dekat dengan naluri kebinatangan manusia.
Penghakiman Sosial
Meskipun orang Minangkabau terkenal sebagai orang yang moralis, dan bersifat kultural, tetapi dalam banyak hal orang etnis ini juga rasional dalam menilai sesuatu. Termasuk dalam merespon soal ini. Etnis Minangkabau tentu boleh saja mengutuk, melakukan penghakiman sosial dan bahkan wajib mencela. Itu saja tentu tidak cukup. Menilai secara komprehensif jelas dibutuhkan tanpa terjebak tendesius membela pelaku. Sebab tidak ada satu alasan apapun untuk melalukan pembelaan terhadap pelaku.
Perilaku pelecehan dan penyimpangan seksual sejatinya setara dengan kasus kriminal berat lainnya—membunuh, narkoba, dan pemerkosaan. Negara harus hadir memberikan hukum berat bagi pelaku, dan melindungi korban. Hanya saja persoalan yang muncul kemudianadalah penilaian semacam apa yang elok dialamatkan pada Pondok Pesantren MTI Candung pasca kejadian memalukan itu.
Apakah membabi buta ‘mengkambing hitamkan’ pondok pesantren ini telah berdiri satu abad ini. Kemudian menyalahkan segala akidah Islam yang diajarkan di dalamnya? Atau, apakah dengan enteng menilai secara simplikatif sambil mencemooh “Noh lihat! yang selama ini mengaku ahlusunah wal jamaah ternyata gagal dalam melakukan internalisasi nilai-nilai moralitas dan religiositas?” Dua respon ini tentu tidak dapat dihindarkan, dan belakangan di jagad media sosial berbagai umpatan berhamburan, dan keluarga Pondok Pesantren dengan sabar menerima penilaian ini, tanpa pula bersikap reaktif.
Sudah menjadi adat “tangan mencacang, bahu memikul.” MTI Candung sadar akan adat ini, dan tentu akanbertanggung jawab terhadap apa yang terjadi. Menyerahkan proses pada hukum, tanpa menutup-nutupi. Pendampingan psikologis terhadap korban. Memperbaiki manajemen yang lebih baik, dan berbasis anti terhadap pelecehan seksual. Ini telah dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab MTI Candung.
Akan tetapi, dua penilaian perlu dilihat secara berbeda.Gerakan dakwah Islam, yang selama ini berbeda dengan gerakan dakwah Tarbiyah Islamiyah, dan menjadi rivalitas berat kalangan ahlu sunnah wal jamaah, tidak akan tinggal diam. Ada kesan akan menangguk di air keruh. Menggunakan kasus ini sebagai alasan untuk melakukan penghakiman akidah terhadap MTI Candung dan segala itikad dan identitas yang melekat padanya.
Pada level ini kemudian rasionalitas etnis Minangkabau, khususnya dan umat Islam pada umumnya diminta untuk berkerja. Karena itu, agaknya penting menjelaskan perilaku penyimpangan seksual, semisal LGBT ini bisa saja muncul di kalangan manapun, dan pada level masyarakat apapun. Dalam hal ini, MTI Candung hanyakecolongan. Tetapi satu sisi lain, kasus ini justru menunjukan potret binal dan wajah berbeda dari elit religius.
Mengapa perilaku penyimpangan seksual justru dilakukan oleh elit agama—ustad, kiyai, buya dan ustadzah? Disepakati perilaku menyimpang semacam, tak terbantahkan perlu dilawan dan tak dapat diterima. Tetapi makna lain, dapat dihadirkan dalam hal ini, yaknikonteks “akses ke privasi”, dimana akses ini umumnya dimiliki oleh elit ini. Modal semacam itu memungkinkan mereka menggunakan akses tersebut untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan orientasi seksual mereka dengan lebih bebas, tanpa takut pengawasan dan kerap melanggar hukum.
Selain itu, elit agama melakukan penyimpangan seksual, serta mengorbankan para pengikutnya dapat dipahami dalam konteks kontrol dan dominasi. Tindakan seksual, semisal sodomi, dapat dilihat sebagai simbol dominasi dan kekuasaan. Elit agama menggunakan ‘kharisma’—kepatuhan, dan ketundukan pada guru, untuk mengekspresikan orientasi seksual mereka dan mengorbankan kelompok yang berada di bawah kontrol mereka—santri, ataupun pengikut.
Elit agama semacam itu dapat kita sebut dengan ‘fake elit’—elit palsu. Ibarat “mancik masuk rangkiang.”Mereka bisa ada dimana saja—omni present. Mereka bisa menyebar dengan berbagai bentuk dan kamuflase. Menjadi seorang alim, lengkap dengan asesoris kealiman. Seorang cendikia, lengkap dengan penguasanya yang dalam terhadap instrumen pengetahuan. Ketika mereka mendapatkan posisi sosial sebagai elit, dan memiliki hasrat yang menyimpang, maka mereka akan menggunakan posisi itu untuk mengorbankan orang lain, yang berada di bawah kontrol-nya. Kasus pelecehan seksual yang terjadi di Pondok Pesantren MTI Candung, layak dilihat pada level ini.
Pelaku RA dan AA menggunakan posisi mereka sebagai ‘buya’ untuk melepaskan katup hawa nafsu mereka. Mereka memperdaya pada santri, dan melakukan hegemoni secara kasar, dan berujung pada pelecehan seksual. Inilah kedok, yang sering menipu masyarakat, bahkan ‘kita’. Mereka menyembunyikan perilaku predator mereka di balik jubah kealiman, dan posisi sosial yang melekat pada mereka sebagai ustad/buya. Sebagai penutup: agar dapat keluar dari jebakan kepalsuan semacam ini, agaknya rasionalitas santri harus terus dimatangkan. Nalar kritis mereka perlu ditumbuhkan. Beragama dengan rasional dan kritis perlu. Agar tidak terjebak pada mitos-mitos kultural, yang difabrikasi oleh hipokrasi. Ke depan, MTI Candung setidaknya tidak hanya mematangkan ilmu agama, tetapi juga membekali para santri mereka dengan nalar kritis agar tidak terpedaya dengan tipu daya predator seksual. Santri harus dibekali dengan materi anti-penyimpangan seksual, agar mereka tidak menjadi korban, maupun membentengi mereka sebagai pelaku penyimpangan seksual. Allahu’ A’lamu bishawab.[]










