Pada sisi kiri ruang pameran terdapat 3 pustek, kubus dari triplek setinggi kurang lebih 1 meter yang ditata secara estetik. Di atasnya disusun hasil karya peserta kelas Clay dan Kelas Karya Kreatif Berbahan Limbah. Pada Pustek Clay terdapat berbagai bentuk hasil karya peserta salah satunya instalasi kereta api Mak Itam. Sedangkan pada pustek Karya Berbahan Limbah, tersusun kerang warna-warni hasil karya peserta.
“Kelas Karya berbahan limbah punya keterkaitan dengan isu pasca tambang. Aktivitas pertambangan memberi dampak pada lingkungan. Karenanya perlu ada upaya pemulihan lingkungan supaya menjadi ruang yang layak untuk ditinggali. Kelas ini mendorong daya kreatif anak-anak untuk mendaur ulang barang yang tidak lagi memiliki nilai dan menambah nilai baru melalui respon seni. Nilai pemulihannya ada di sana. Hal yang penting ditanamkan kepada anak sejak dini,” papar Aser.
Aser menjelaskan keseluruhan karya yang dipamerkan punya keterkaitan narasi dengan Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS). Pameran ini bukan hanya sebatas ruang apresiasi karya anak tapi juga mentransfer pengetahuan soal WTBOS, tentunya melalui pendekatan seni.
Tidak hanya itu, ada juga pameran memori kolektif dari BPK III yang berisi tentang foto-foto aset WTBOS dulu dan kini. Hal ini bertujuan untuk memperlihatkan tentang pentingnya pemeliharaan, perawatan, dan pemanfaatan aset sebagai sebuah kepemilikan bersama anak nagari.
“Kita juga menampilkan 17 karya sketsa dari seniman Indonesia, Body Dharma yang kini berusia 68 tahun. Keseluruhannya menampilkan aset-aset dari WTBOS di 3 zonasi. Hadirnya karya Body Darma juga sebagai wujud adanya keterhubungan kekaryaan lintas generasi,” lanjut Aser.
Salah satu peserta dari Forum Anak, Jevon Alexander Darmawan (12) menyebutkan bahwa ia sangat antusias mengikuti pameran ini. Sebelumnya ia juga sudah pernah ikut pameran ketika Galanggang Arang memberi support pada Festival Anak 2023. Kali ini ia menggambar Silo Gunung bagian dari zonasi C WTBOS.














