JAKARTA, HARIANHALUAN.ID — Sektor pertanian nasional menyisakan persoalan besar selama sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) terlihat dari laju pertumbuhan yang melambat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini dinilai masih akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan Prabowo Subianto.
Head of Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef, Abra Talattov mengatakan, Jokowi menjanjikan ketahanan pangan di awal pemerintahan. Namun, tren pertumbuhan sektor pertanian nasional menunjukkan perlambatan dalam sepuluh tahun terakhir.
“Performa pertumbuhan sektor pertanian di 10 tahun Jokowi ternyata dalam tren Indef bertajuk “Evaluasi 10 Tahun Jokowi Bidang Ekonomi” di Jakarta, Selasa (27/8).
Abra mengatakan, sektor pertanian sempat tumbuh sebesar 4,24 persen pada 2014. Kemudian, tren ini terus merosot hingga 2023 yang sebesar 1,3 persen. “Bahkan, kuartal I 2024 sempat menyentuh minus 3,54 persen,” ucap Abra.
Abra menyampaikan, kontribusi atau pangsa sektor pertanian terhadap PDB pun terus menyusut dari 13,34 persen pada 2014 menjadi 12,53 persen pada 2023. Artinya, indikator pertumbuhan dan pangsa pasar sektor pertanian terhadap PDB menunjukkan rapor merah.
Di samping itu, pertumbuhan sektor pertanian pun selalu di bawah PDB. Padahal, sektor pertanian sangat strategis untuk menjaga ketahanan, kedaulatan pangan, dan kantong tenaga kerja di Indonesia.
“Sub-sub sektor pertanian yang mengalami kemunduran ialah subsektor tanaman pangan. Ini jadi andalan untuk sektor pertanian karena di sini jadi kebutuhan dasar untuk masyarakat memenuhi stok pangan,” ujar Abra.
Abra menyampaikan, kontribusi subsektor tanaman pangan tercatat merosot dari 3,25 persen pada 2014 menjadi 2,26 persen pada tahun lalu. Sedangkan kontribusi tanaman hortikultura terhadap PDB menyusut 1,52 persen pada 2014 menjadi 1,37 persen pada 2023.
“Ini jadi salah satu sumber persoalan ketahanan pangan, sehingga tidak heran pemerintah mengambil jalan pintas importasi komoditas pangan seperti beras karena produktivitas terus menurun,” ujar Abra.
Abra mengingatkan, posisi Indonesia yang berada di peringkat 63 dalam indeks ketahanan pangan global atau tertinggal dari Singapura dan Malaysia, dengan estimasi pendapatan petani per bulan pun baru sebesar Rp 1,5 juta.
Di sisi lain, upaya pemerintah mengurangi tingkat kemiskinan seharusnya memberikan prioritas terhadap sektor pertanian. Tercatat, sebanyak 30 persen jumlah pekerja di Indonesia berasal dari sektor pertanian.
“Sumber penghasilan utama dari 48,9 persen rumah tangga miskin ada di sektor pertanian. Ketika pendapatan bersih petani tidak naik atau lebih rendah dari UMR, maka sampai kapan pun agenda pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan berat,” ucap Abra.
Abra mengatakan, tingkat kemiskinan memang relatif menurun pascapandemi. Namun, persentase penduduk miskin di pedesaan masih cukup tinggi, yakni sekitar 12,22 persen pada 2023. “Di periode kedua Jokowi terlihat ada sembilan provinsi yang mengalami kenaikan tingkat kemiskinan,” ujarnya.
Pemerintah sejatinya telah merespons dengan meningkatkan alokasi anggaran sektor pertanian menjadi Rp114,3 triliun pada 2024 atau naik drastis dari Rp80,7 triliun pada 2019.
“Seluruh anggaran ini digunakan untuk pembangunan infrastruktur sektor pertanian misal bendungan, jaringan irigasi, penyaluran pupuk bersubsidi. Perlu dipastikan peningkatan anggaran pangan ini dengan relevansinya dalam meningkatkan produktivitas,” kata Abra. (*)














